DUA tangan Tata Suminta sibuk memunguti potongan ubi jalar yang semula ia serakkan di tanah berumput. Sambil memungut, Tata terus memanggil-manggil nama Asep dan Joni. "Ceuk, ceuk.... Nguk, nguk.... Sep, Asep.... Joni, Joni...." Begitu katanya. Dari tengah lapangan berumput, Asep dan Joni melangkah dengan pasti mendekati Tata.
DENGAN gemulai Joni mengambil potongan ubi itu dengan moncongnya. Ia kemudian membalikkan badan, memberikan kesempatan belasan temannya untuk menyantap ubi dari tangan Tata. Asep yang semula hanya memerhatikan Tata lalu dengan santai memakan potongan ubi yang dicomotnya dari tanah.
Asep dan Joni, serta belasan temannya, adalah sekelompok rusa. "Saya dan Zuhari yang sehari-hari merawat dan mengurus mereka. Sudah 10-an tahun, sejak penangkaran ini ada. Dia dinamai Joni karena setiap saya dekati dan dipanggil-panggil Joni, ngerti. Asep juga begitu. Dari lahir saya yang kasih makan dia," tutur Tata.
Ibu Asep, namanya Empon, sudah meninggal beberapa waktu lalu karena usia tua. "Kalau Asep sekarang usianya 10 tahun. Saya ingat usia Asep karena dia lahir ketika saya belum lama kerja di sini."
Asep yang diceritakan Tata dengan suara penuh sayang itu tidak lain adalah rusa jenis Cervus timorensis, atau populer dengan sebutan rusa jawa, sedangkan Joni jenis Axis axis atau rusa totol. Asep dan Joni adalah rusa jantan. Di kepala masing-masing bertengger tanduk bercabang tiga. Membuat keduanya terlihat sangat gagah dan berwibawa, di tengah kelompok rusa-rusa peliharaan Dinas Perhutani Kabupaten Bogor.
Wahana Wisata Penangkaran Rusa (WWPR), tempat Asep dan Joni hidup nyaman, berdiri sejak tahun 1993 di Desa Buana Jaya, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor. Atau sekitar 1,5 jam bermobil dari Cibubur, Jakarta Timur, melalui Jalan Raya Jonggol-Cileungsi. Dulunya, rumah tinggal Asep-Joni ini dikenal sebagai Penangkaran Rusa Cariu karena, sebelum pemekaran wilayah, lokasinya masuk Kecamatan Cariu, Bogor.
"Selain Axis axis dan Cervus timorenis, ada juga Axis kuhlii atau rusa bawean. Kalau jenis Cervus unicolor atau rusa sambar, kami belum punya. Sulit cari bibitnya. Padahal rusa sambar ini jenis rusa asli Indonesia," kata Rachmat Pudjo, asisten Perhutani/KB KPH Jonggol, yang bertanggung jawab atas kelangsungan penangkaran rusa tersebut.
Menurut Rachmat, di WWPR kini ada sekitar 70 rusa. Populasi rusa di sini memang dibatasi, disesuaikan dengan luas areal penangkaran yang merupakan sebuah bukit kecil dengan hutan pinus dan semak belukar. Luasnya hanya lima hektar dengan populasi ideal satu hektar untuk 10 sampai 15 rusa.
Selain lima hektar lahan untuk tempat tinggal rusa itu, di WWPR masih ada dua hektar lahan yang dikhususkan untuk penanaman/pemeliharaan rumput, deposit makanan utama rusa. Selain itu, masih ada lagi dua hektar lahan yang bisa digunakan untuk berkemah atau melakukan aktivitas wisata alam lain bagi para pengunjung.
MENURUT Koordinator Wisata KPH Bogor Tri Ernawati, WWPR memang dibuka untuk umum. Untuk menikmati keelokan rusa-rusa di sana, pengunjung harus membeli karcis masuk sebesar Rp 2.500 per orang. Kalau ingin melakukan aktivitas wisata alam seperti hicking atau out bound, setiap peserta dikenai biaya tambahan Rp 3.000 per orang. Jika ingin berkemah, pengunjung dikenai biaya sewa lahan Rp 300.000 per hari per rombongan. Warga negara asing dikenai Rp 15.250 per orang untuk tiket masuk saja.
"Kalau mau berkemah, paling tidak dua tiga hari sebelumnya sudah memberi tahu kami. Maksimal kami bisa melayani 200 orang. Kami saat ini baru bisa memberikan fasilitas lahan dan MCK saja. Peralatan berkemah dan lainnya harus dibawa peserta. Namun, setiap pengunjung sudah mendapat jaminan asuransi," tutur Tri.
Berkemah di kawasan WWRP memang lumayan enak. Pemandangannya asri dan udaranya cukup dingin segar. Selain dapat menikmati keelokan rusa- rusa dan hijaunya alam, pengunjung juga dapat menikmati gemuruh air Sungai Cibeet, yang merupakan bagian dari daerah aliran Sungai Citarum. Airnya yang bening dengan serakan bebatuan sangat mengundang pengunjung untuk bermain atau mandi.
"Penduduk di sini juga mandi di sungai itu, tetapi kita harus hati-hati. Apalagi musim hujan seperti sekarang. Walaupun tampaknya air tidak deras dan cuaca cerah, air sungai bisa tiba-tiba besar sekali akibat hujan di hulu," kata Tata.
Kembali ke penangkaran rusa, Rachmat Pudjo membenarkan bahwa masyarakat bisa membeli rusa peliharaan tersebut. Jika berminat, permohonan membeli harus diajukan kepada Dinas Perhutani Kabupaten Bogor, yang berkantor di Cibinong. Harga rusa sekitar Rp 2,5 juta per ekor. Hanya saja, tidak setiap saat permohonan membeli rusa itu dapat dikabulkan. "Kami baru menjual rusa jika populasinya berlebih," kata Rachmat.
Ternyata, tidak mudah pula menangkap rusa di sana walaupun kita sudah mengantongi izin membeli. Padahal, pengunjung bisa menyaksikan rusa- rusa itu tidak takut mendekati orang. Didampingi Tata, atau petugas lainnya, anak-anak bahkan bisa langsung memberikan makanan ke mulut rusa- rusa itu.
Faktanya, sulit menangkap rusa yang kita inginkan. Ini dialami Cecep MW, dokter hewan pemilik pet shop di Cipanas, yang bermaksud menangkap sepasang rusa yang sudah dibelinya. Dari pagi hingga tengah hari, ia belum mendapatkan rusa yang diminatinya walaupun sudah menghabiskan tiga ampul obat bius. Ia menembakkan jarum suntik berisi obat bius itu dengan cara disumpit. "Meleset melulu karena rusanya makin menjauh. Lari," kata Cecep, yang menyumpit dari saung berteduh dan tempat menonton rusa-rusa penangkaran. Cecep membeli dua ekor rusa untuk melengkapi koleksi tujuh rusa yang sudah dimilikinya. "Rusa-rusa saya jantan semua. Karena itu, saya perlu rusa betina. Tadinya saya mau beli lima, tetapi Perhutani Bogor hanya mengizinkan dua ekor," tutur Cecep.
Menurut Tata, rusa itu memang seakan-akan mengerti kalau di antara mereka ada yang diincar untuk ditangkap. Rusa-rusa itu kompak menjauh. Bahkan ada yang masuk ke semak-semak. "Apalagi kalau yang mau menangkap berpenampilan seperti dokter dan bawa tas dokter segala. Ya, seperti Pak Cecep itu tadi. Rusa-rusa mengerti dan jadi takut mendekat. Karena mereka sudah biasa lihat dokter hewan kami yang datang cuma untuk menangkapi rusa untuk disuntik atau diobati," katanya.
SETELAH Cecep pergi karena putus asa menunggu rusa-rusa mendekat, rusa-rusa itu baru terlihat mendekat ke saung. Mereka tidak kabur walaupun ada pengunjung yang turun dari saung memberinya ubi jalar. Mereka makin banyak mendekat lagi ketika Tata memanggilnya.
Menurut Tata, sudah cukup banyak rusa rawatannya yang dibeli orang. Namun ia tidak pernah tahu, atau mungkin tidak ingin tahu, kenapa orang-orang itu membeli rusa. "Pokoknya seumur-umur saya merawat rusa, saya tidak pernah makan daging rusa. Jangankan makan, memotongnya pun saya tidak mau. Kasihan, tidak tega, setiap hari saya melihat mereka, bertahun-tahun," tuturnya.
Itu sebabnya, ia senang sekali kalau ada pengujung yang datang membawa oleh-oleh bagi rusa-rusanya: buah-buahan manis, seperti pisang dan mangga.
"Rusa sebetulnya makan buah apa saja asal manis. Di sini ada pohon mangga, alpukat, dan buah lainnya. Kalau lagi musim berbuah dan buahnya jatuh, dimakan rusa," katanya.
Makanan utama rusa di penangkaran adalah rumput (pagi hari), ubi jalar (siang hari), dan dedak (malam hari).
Rumput yang dibutuhkan bagi 70-an rusa sekitar 25 karung per hari. Berat satu karungnya mencapai 25 kilogram, sedangkan ubi jalar dan dedak masing-masing 60 kilogram per hari.
"Rusa tidak doyan singkong. Jadi kalau mau bawa oleh-oleh umbi-umbian, bawa saja ubi jalar atau wortel," tuturnya, sambil memandang sayang Asep dan Joni, yang tengah mengunyah ubi jalar pemberiannya. (Ratih P Sudarsono)
Sumber : Kompas, Edisi Kamis, 10 Maret 2005.
5 komentar:
Saya mau pesan
Saya mau pesan
BAGAI MANA CARA MEMBELI BIBIT RUSA NI
Saya berminat juga untuk dapat memiliki Rusa Totol ini, berapakah harga jantan dan betina ( sepasang ) dan bagaimanakah caranya.... Terima kasih
Wah 5 jt dapat 2 ya, mau mau mau... Sepasang
Posting Komentar