Curug Country - Tanjungsari

Objek wisata yang masih alami, anda akan disuguhkan suasana alam yang asri dan sejuk. Curug Country adalah air terjun yang sangat indah, air bening dan menyejukan mata.

Penangkaran Rusa

Tempat penangkaran Rusa di Cariu ini tidak banyak diketahui orang. Sepi dan jauh dari keramaian. Padahal, lokasi ini sudah ada sejak tahun 1993 dengan nama Wahana Wisata Penangkaran Rusa (WWPR) milik Dinas Perhutani Bogor.

Tradisi Meriam Karbit

Tradisi Meriam karbit mungkin sudah jarang kita jumpai. Tapi di Jonggol masih ada, biasanya diadakan setahun sekali. Acara biasanya dilaksanakan beberapa hari setelah Idul Fitri.

Peta Jonggol

Jonggol adalah sebuah Kecamatan di Timur Kabupaten Bogor, wilayah Jonggol yang luas dengan kontur perbukitan menjadikan Jonggol daerah yang strategis.

Situs Batu Tapak Pasir Awi

Prasasti Pasir Awi (Batu Tapak) atau Prasasti Ciampea adalah salah satu prasasti peninggalan kerajaan Tarumanagara. Prasasti Pasir Awi terletak di lereng selatan bukit Pasir Awi (± 559m dpl) di kawasan hutan perbukitan Cipamingkis Desa Pabuaran Kecamatan Sukamakmur.

30 Januari 2009

Penangkaran Rusa










29 Januari 2009

Menengok Penangkaran Rusa di Cariu

DUA tangan Tata Suminta sibuk memunguti potongan ubi jalar yang semula ia serakkan di tanah berumput. Sambil memungut, Tata terus memanggil-manggil nama Asep dan Joni. "Ceuk, ceuk.... Nguk, nguk.... Sep, Asep.... Joni, Joni...." Begitu katanya. Dari tengah lapangan berumput, Asep dan Joni melangkah dengan pasti mendekati Tata.

DENGAN gemulai Joni mengambil potongan ubi itu dengan moncongnya. Ia kemudian membalikkan badan, memberikan kesempatan belasan temannya untuk menyantap ubi dari tangan Tata. Asep yang semula hanya memerhatikan Tata lalu dengan santai memakan potongan ubi yang dicomotnya dari tanah.

Asep dan Joni, serta belasan temannya, adalah sekelompok rusa. "Saya dan Zuhari yang sehari-hari merawat dan mengurus mereka. Sudah 10-an tahun, sejak penangkaran ini ada. Dia dinamai Joni karena setiap saya dekati dan dipanggil-panggil Joni, ngerti. Asep juga begitu. Dari lahir saya yang kasih makan dia," tutur Tata.

Ibu Asep, namanya Empon, sudah meninggal beberapa waktu lalu karena usia tua. "Kalau Asep sekarang usianya 10 tahun. Saya ingat usia Asep karena dia lahir ketika saya belum lama kerja di sini."

Asep yang diceritakan Tata dengan suara penuh sayang itu tidak lain adalah rusa jenis Cervus timorensis, atau populer dengan sebutan rusa jawa, sedangkan Joni jenis Axis axis atau rusa totol. Asep dan Joni adalah rusa jantan. Di kepala masing-masing bertengger tanduk bercabang tiga. Membuat keduanya terlihat sangat gagah dan berwibawa, di tengah kelompok rusa-rusa peliharaan Dinas Perhutani Kabupaten Bogor.

Wahana Wisata Penangkaran Rusa (WWPR), tempat Asep dan Joni hidup nyaman, berdiri sejak tahun 1993 di Desa Buana Jaya, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor. Atau sekitar 1,5 jam bermobil dari Cibubur, Jakarta Timur, melalui Jalan Raya Jonggol-Cileungsi. Dulunya, rumah tinggal Asep-Joni ini dikenal sebagai Penangkaran Rusa Cariu karena, sebelum pemekaran wilayah, lokasinya masuk Kecamatan Cariu, Bogor.

"Selain Axis axis dan Cervus timorenis, ada juga Axis kuhlii atau rusa bawean. Kalau jenis Cervus unicolor atau rusa sambar, kami belum punya. Sulit cari bibitnya. Padahal rusa sambar ini jenis rusa asli Indonesia," kata Rachmat Pudjo, asisten Perhutani/KB KPH Jonggol, yang bertanggung jawab atas kelangsungan penangkaran rusa tersebut.

Menurut Rachmat, di WWPR kini ada sekitar 70 rusa. Populasi rusa di sini memang dibatasi, disesuaikan dengan luas areal penangkaran yang merupakan sebuah bukit kecil dengan hutan pinus dan semak belukar. Luasnya hanya lima hektar dengan populasi ideal satu hektar untuk 10 sampai 15 rusa.

Selain lima hektar lahan untuk tempat tinggal rusa itu, di WWPR masih ada dua hektar lahan yang dikhususkan untuk penanaman/pemeliharaan rumput, deposit makanan utama rusa. Selain itu, masih ada lagi dua hektar lahan yang bisa digunakan untuk berkemah atau melakukan aktivitas wisata alam lain bagi para pengunjung.

MENURUT Koordinator Wisata KPH Bogor Tri Ernawati, WWPR memang dibuka untuk umum. Untuk menikmati keelokan rusa-rusa di sana, pengunjung harus membeli karcis masuk sebesar Rp 2.500 per orang. Kalau ingin melakukan aktivitas wisata alam seperti hicking atau out bound, setiap peserta dikenai biaya tambahan Rp 3.000 per orang. Jika ingin berkemah, pengunjung dikenai biaya sewa lahan Rp 300.000 per hari per rombongan. Warga negara asing dikenai Rp 15.250 per orang untuk tiket masuk saja.

"Kalau mau berkemah, paling tidak dua tiga hari sebelumnya sudah memberi tahu kami. Maksimal kami bisa melayani 200 orang. Kami saat ini baru bisa memberikan fasilitas lahan dan MCK saja. Peralatan berkemah dan lainnya harus dibawa peserta. Namun, setiap pengunjung sudah mendapat jaminan asuransi," tutur Tri.

Berkemah di kawasan WWRP memang lumayan enak. Pemandangannya asri dan udaranya cukup dingin segar. Selain dapat menikmati keelokan rusa- rusa dan hijaunya alam, pengunjung juga dapat menikmati gemuruh air Sungai Cibeet, yang merupakan bagian dari daerah aliran Sungai Citarum. Airnya yang bening dengan serakan bebatuan sangat mengundang pengunjung untuk bermain atau mandi.

"Penduduk di sini juga mandi di sungai itu, tetapi kita harus hati-hati. Apalagi musim hujan seperti sekarang. Walaupun tampaknya air tidak deras dan cuaca cerah, air sungai bisa tiba-tiba besar sekali akibat hujan di hulu," kata Tata.

Kembali ke penangkaran rusa, Rachmat Pudjo membenarkan bahwa masyarakat bisa membeli rusa peliharaan tersebut. Jika berminat, permohonan membeli harus diajukan kepada Dinas Perhutani Kabupaten Bogor, yang berkantor di Cibinong. Harga rusa sekitar Rp 2,5 juta per ekor. Hanya saja, tidak setiap saat permohonan membeli rusa itu dapat dikabulkan. "Kami baru menjual rusa jika populasinya berlebih," kata Rachmat.

Ternyata, tidak mudah pula menangkap rusa di sana walaupun kita sudah mengantongi izin membeli. Padahal, pengunjung bisa menyaksikan rusa- rusa itu tidak takut mendekati orang. Didampingi Tata, atau petugas lainnya, anak-anak bahkan bisa langsung memberikan makanan ke mulut rusa- rusa itu.

Faktanya, sulit menangkap rusa yang kita inginkan. Ini dialami Cecep MW, dokter hewan pemilik pet shop di Cipanas, yang bermaksud menangkap sepasang rusa yang sudah dibelinya. Dari pagi hingga tengah hari, ia belum mendapatkan rusa yang diminatinya walaupun sudah menghabiskan tiga ampul obat bius. Ia menembakkan jarum suntik berisi obat bius itu dengan cara disumpit. "Meleset melulu karena rusanya makin menjauh. Lari," kata Cecep, yang menyumpit dari saung berteduh dan tempat menonton rusa-rusa penangkaran. Cecep membeli dua ekor rusa untuk melengkapi koleksi tujuh rusa yang sudah dimilikinya. "Rusa-rusa saya jantan semua. Karena itu, saya perlu rusa betina. Tadinya saya mau beli lima, tetapi Perhutani Bogor hanya mengizinkan dua ekor," tutur Cecep.

Menurut Tata, rusa itu memang seakan-akan mengerti kalau di antara mereka ada yang diincar untuk ditangkap. Rusa-rusa itu kompak menjauh. Bahkan ada yang masuk ke semak-semak. "Apalagi kalau yang mau menangkap berpenampilan seperti dokter dan bawa tas dokter segala. Ya, seperti Pak Cecep itu tadi. Rusa-rusa mengerti dan jadi takut mendekat. Karena mereka sudah biasa lihat dokter hewan kami yang datang cuma untuk menangkapi rusa untuk disuntik atau diobati," katanya.

SETELAH Cecep pergi karena putus asa menunggu rusa-rusa mendekat, rusa-rusa itu baru terlihat mendekat ke saung. Mereka tidak kabur walaupun ada pengunjung yang turun dari saung memberinya ubi jalar. Mereka makin banyak mendekat lagi ketika Tata memanggilnya.

Menurut Tata, sudah cukup banyak rusa rawatannya yang dibeli orang. Namun ia tidak pernah tahu, atau mungkin tidak ingin tahu, kenapa orang-orang itu membeli rusa. "Pokoknya seumur-umur saya merawat rusa, saya tidak pernah makan daging rusa. Jangankan makan, memotongnya pun saya tidak mau. Kasihan, tidak tega, setiap hari saya melihat mereka, bertahun-tahun," tuturnya.

Itu sebabnya, ia senang sekali kalau ada pengujung yang datang membawa oleh-oleh bagi rusa-rusanya: buah-buahan manis, seperti pisang dan mangga.

"Rusa sebetulnya makan buah apa saja asal manis. Di sini ada pohon mangga, alpukat, dan buah lainnya. Kalau lagi musim berbuah dan buahnya jatuh, dimakan rusa," katanya.

Makanan utama rusa di penangkaran adalah rumput (pagi hari), ubi jalar (siang hari), dan dedak (malam hari).

Rumput yang dibutuhkan bagi 70-an rusa sekitar 25 karung per hari. Berat satu karungnya mencapai 25 kilogram, sedangkan ubi jalar dan dedak masing-masing 60 kilogram per hari.

"Rusa tidak doyan singkong. Jadi kalau mau bawa oleh-oleh umbi-umbian, bawa saja ubi jalar atau wortel," tuturnya, sambil memandang sayang Asep dan Joni, yang tengah mengunyah ubi jalar pemberiannya. (Ratih P Sudarsono)


Sumber : Kompas, Edisi Kamis, 10 Maret 2005.

Penangkaran Rusa Cariu

Tempat penangkaran Rusa di Cariu ini tidak banyak diketahui orang. Sepi dan jauh dari keramaian. Padahal, lokasi ini sudah ada sejak tahun 1993 dengan nama Wahana Wisata Penangkaran Rusa (WWPR) milik Dinas Perhutani Bogor. Ditilik dari lokasinya, tempat ini sebetulnya potensial didatangi oleh wisatawan lokal yang ada di Jakarta, Bogor dan Cianjur atau Bandung. Artinya, jika mereka tau disini ada tempat wisata alam yang lumayan bagus, tentunya akan banyak pengunjung yang kemari.

Arah dari Jakarta menuju lokasi ini gampang saja, pergilah kearah Cibubur, lalu masuk di Jl. Alternatif Cibubur-Cileungsi. Terus saja arahkan mobil kearah Jonggol tembus ke Cianjur. Melalui jalan yg lumayan bagus dan berliku liku melewati sawah yang luas dan deretan perbukitan yang cukup indah, sampailah kita di desa Buana Jaya, Kecamatan Tanjung sari, Cariu, Bogor. Disinilah lokasi WWPR berada, karena itu penduduk sekitar menyebutnya sebagai: “rusa cariu”, artinya penangkaran ini berada diwilayah Cariu. Jika dihitung dari Cibubur, bisa jadi jauhnya sekitar 40 km lebih dan kurang. Tidak jauh amat, kan.

Ditepi jalan berdiri papan nama sederhana dari kayu apa adanya bertuliskan: penangkaran rusa. Belokan mobil, melewati jalan berbatu kasar sepanjang 50m kedalam hingga berhenti ditepi sungai Cibeet yang sangat lebar dan berair deras. Mobil tidak dapat melanjutkan perjalanan karena didepan sudah ada jembatan gantung yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki dan naik motor. Lokasi penangkaran itu sendiri masih perlu berjalan kaki sekitar 50 m lagi melalui hutan sekunder yang nyaman dan satu lokasi camping kecil. Sekilas mata menyapu lokasi, tempatnya sungguh enak, bersih, dibawah bayang bayang keteduhan pepohonan yang rindang dan gemericik air sungai dari kejauhan. Tempat ini cocok juga dipakai buat siapapun yang ingin menyepi dari bisingnya dunia luar. Saya sendiri sempat berkeinginan menghabiskan cuti 2 hari dengan camping disini karena melihat sepinya lokasi ini. Pasti ideal untuk melakukan treking ringan sambil mengitari wilayah ini, kata saya dalam hati.

Didalam, kami melihat satu areal luas yang dibatasi oleh pagar kawat melingkar. Ditengahnya membelah jalan berbentuk jembatan kayu memanjang yang diujungnya ada gazebo lebar. Sebelum masuk kami bersalaman dahulu dengan penjaga lokasi penangkaran ini dan berbicara penuh tawa ramah. Setelah berkenalan kami pun masuk kedalam melewati jembatan kayu itu keareal tempat rusa berada.

Rusa disini lumayan jinak dengan pengunjung. Mereka tanpa ragu bisa mendekat dan meminta makan langsung dari tangan manusia yang memberinya. Ini sebuah momen yang amat menyenangkan. Bisa dibayangkan jika membawa anak kecil kemari, tentunya merupakan hal yang amat berkesan bagi dirinya berdiri berdekatan dengan sekelompok rusa sambil memberi makan langsung dari tangan sendiri. Makanan kesukaan hewan herbivora ini adalah buah buahan manis. Dan rusa-rusa akan dengan antusias mendekat jika dipanggil sambil mengacungkan sekepal buah buahan didepan matanya.

Lucunya, rusa disini takut dengan pengunjung berpakaian dokter. Kata penjaganya, penghuni disini akan sontak berlarian menjauh jika ada orang dengan pakaian dokter kemari. Tampaknya mereka semua jerih dikejar kejar dan ditangkap lalu disuntik oleh dokter hewan yang rutin berkunjung kesini. Saya tertawa geli dalam hati. Ternyata rusa takut juga disuntik, dan luarbiasanya mereka bisa mengingat dari bentuk pakaian manusia yang datang disini. Jadi, pesan moralnya simple saja: “Jika ingin memberi makan rusa, maka jangan berpakaian bak seorang dokter, dijamin rusanya lari bersembunyi diantara semak semak”. Hahaha

Melihat komposisi penghuni lokasi WWPR, disini terdapat campuran beberapa species rusa. Diantaranya adalah rusa totol (Axis Axis), rusa jawa (Axis Timorensis), dan rusa bawean (Axis Kuhlii). Populasinya lumayan banyak, ada sekitar 70 ekor rusa dibiarkan lepas dalam kandang seluas 2 ha.

Populasi ini akan tetap dipertahankan dalam jumlah ideal dengan luas kandang. Rusa memang hewan yang aktif soal “anak beranak”. Dalam usia 20 bulan, seekor rusa jantan sudah bisa membuat bunting 20 ekor rusa betina. Luar biasa memang. Tidak heran lantas muncul mitos bahwa organ rusa sanggup mendongkrak libido (walaupun itu tidak terbukti secara ilmiah). Apabila sekelompok komunitas rusa tidak menemui predator alamiahnya dialam, dipastikan jumlah mereka akan dengan cepat membengkak.


Karena itu, jika jumlahnya berlebih maka sisanya akan dijual kepada siapapun yang berminat . Kedengarannya aneh memang, tapi rusa disini memang boleh dibeli melalalui Perhutani Bogor. Harga persatuan antara 2 juta hingga 5 juta per ekor tergantung usia dan berat tubuhnya. Apakah dibeli untuk dimakan? Entahlah. Penjaga disini juga tidak tau untuk apa rusa itu dibeli. Yang pasti, mereka mengaku tidak mau menyembelih rusa dan memakannya. Rasa sayang karena memelihara rusa membuat mereka tidak tega hati memakan binatang piaraan ini.

Tanpa sadar jam sudah bergeser hingga jam 2 siang. Perut kami sudah berbunyi berdentam dentam bak genderang perang, tanda lapar mulai menyerang.

Kami segera menyantap makanan yang kami bawa dari Jakarta sambil duduk duduk di saung sederhana yang ada disana. Lokasi ini jeleknya cuma satu yakni tidak ada warung makan atau berjualan snack ringan. Karena itu, jika tidak mau lapar, lebih baik siapkan makanan sejak dari Jakarta. Jangankan makanan, listrik pun tak ada disini. Semuanya serba sederhana dan apa adanya. Untungnya disini ada MCk yang memadai. Pengunjung yang sudah kebelet bisa “bertapa” dengan nyaman di MCK tanpa perlu takut melakukan itu disungai Cibeet

SMPN 1 Jonggol




Alamat :
SMP Negeri 1 Jonggol
Jl. Menan Sukamaju
Jonggol, Kab. Bogor
Indonesia—16830
Phone: 021 - 8993 2476
Fax: 021 - 8993 4471

Sumber : SMPN 1 Jonggol


Nikmati Alam Pedesaan di RM. Jatinunggal

Semilir angin, hijaunya sawah serta gemericik air sungai sejukan suasana hati. Hayalan pun melayang jauh hingga ke dimensi tujuh. Suasana alam pedesaan yang memanjakan mata membuat terlena. Aku merasa tersesat dan tak mau kembali.

Jujur saja, rasa penasaran masih menggelayuti pikiran ini. Cerita seorang teman tentang rumah makan yang menawarkan suasana alam pedesaan yang lokasinya tidak begitu jauh dari Jakarta begitu mengusik hati. Ketika tawaran itu datang, gaung pun bersambut.

Di suatu siang di daerah sekitar Jonggol-Cariu tepatnya di Desa Sukasirna, Jonggol Kabupaten Bogor, cuaca mendung dan awan hitam membayangi perjalanan kali ini. Maklum saja, pertengahan Februari ini, cuaca agak kurang ramah. Di beberapa daerah bahkan terjadi hujan deras disertai angin puting beliung. Namun beruntung sekali, perjalanan kali ini tidak turun hujan, walau hati ini cemas juga, khawatir hujan akan mengguyur wilayah ini.

Memasuki wilayah ini, suasana alam pedesaan begitu kental terasa. Hamparan sawah yang luas membentang, suasana sepi dari lalu lalang kendaraan bermotor, masyarakat yang ramah, dan semilir angin pegunungan, merangsang rasa kantuk yang membuat terlena. Aku sungguh terhipnotis. Rasa lapar pun tiba-tiba saja datang menghampiri. Mungkin terbawa suasana, begitu ucapku dalam hati.

Pesona alam pedesaan yang damai, seperti slogan ‘aman, tenteram loh jenawi’ tampak menjadi nyata. Setelah menempuh perjalanan yang beraspal ‘sirtu’, aku pun tiba di lokasi rumah makan yang dimaksud temanku.

Nama rumah makan itu RM Jatinunggal. Terletak lebih kurang satu kilometer dari jalan raya Jonggol-Raweuy. Tidak ada angkutan umum menuju lokasi rumah makan ini. Pengunjung yang datang umumnya membawa transportasi sendiri.

Tapi jangan tanya jumlah pengunjung yang datang ke tempat ‘terpencil’ ini. Berlimpah loh. Walau lokasinya ‘agak’ jauh dari jalan raya, namun rumah makan ini selalu ramai. Apalagi kalau hari-hari libur seperti Sabtu atau Minggu. Seperti yang terlihat, deretan mobil dari berbagai jenis tampak terparkir rapi di pelataran depan rumah makan.

Menurut Manager RM Jatinunggal Yoyo Wahyudin, rumah makan ini berdiri sejak tahun 1989 yang menyediakan menu makanan khas Sunda.

“Rumah makan ini berdiri sejak tahun 1989. Awal mulanya cuma budidaya ikan mas. Namun seiring perkembangan kota Jonggol, kemudian tempat ini berkembang menjadi sebuah tempat wisata keluarga dan wisata kuliner, khususnya menyediakan menu khas Sunda,” tutur Yoyo yang mengaku sudah puluhan tahun mengelola rumah makan ini.

Dijelaskan Yoyo, tempat ini memiliki sumber air yang berlimpah yang berasal dari Sungai Cipamingkis. Makanya dahulu lebih banyak dimanfaatkan sebagai tempat budi daya ikan arus deras seperti ikan mas.

“Hasil budi daya ikan mas di sini beda hasilnya (kualitasnya) di banding tempat lain. PH air disini mungkin lebih bagus,” ungkapnya.

Rumah makan ini memang menjual suasana alam pedesaan. Dengan hamparan sawah yang luas membentang, suara gemericik air yang mengalir di bawah gubuk-gubuk yang di bangun dari kayu dan bilik (anyaman dari bambu) sebagai tempat para pengunjung menikmati hidangan, sungguh memberikan suasana ‘ndeso’ yang menenangkan jiwa dan pikiran yang sudah ruwet oleh suasana kota yang bising.

Balong-balong (kolam ikan) yang terletak di bawah gubuk-gubuk dimanfaatkan sebagai tempat budidaya ikan yang setiap dua minggu sekali bisa dipanen atau ditangkap sebagai menu makanan. Bahkan di hari-hari tertentu (biasanya dari hari Senin sampai Jumat) para pengunjung boleh memanfaatkan dan memilih sendiri ikan yang akan di santap.

Ada pula yang memilih memancing sendiri ikan yang mau disantap. Tentunya ini buat pemilik hobby mancing saja. Maklumlah, tentu akan lebih lama menikmati hidangan karena harus menunggu dulu ikan yang didapat.

"Biasanya di sini kami timbang per ons. Untuk ikan mas Rp.4.500/ons, sedang ikan gurame Rp. 6.500/ons,” kata Yoyo seraya mengungkapkan bahwa setiap minggunya mendatangkan sekitar 6 kwintal ikan mas dan gurame dari daerah Bogor untuk kebutuhan rumah makan ini. Ditambahkan, menu-menu yang menjadi favorit pengunjung RM Jatinunggal seperti Ikan Gurame Asam Manis dan Ikan Mas Pepes.

Untuk menu lainnya, seperti umumnya rumah makan khas Sunda, tempat ini juga menyediakan menu-menu seperti Sayur Asam, Lalab Sambal, Pepes Jamur, Pepes Tahu, dan Ikan Mas Balita (ikan mas yang masih kecil-kecil namun digoreng garing). Ehm, yang terakhir ini patut di coba para pengunjung, apalagi kalau dicocol dengan sambal goreng, mantap!!!

Para pengunjung yang datang pun umumnya berasal dari daerah di luar kota Jonggol dan sekitarnya seperti Cibarusah, Bekasi, Cibubur, Bogor dan Jakarta. Bahkan pernah ada yang datang dari daerah Tangerang.

“Mereka umumnya para keluarga dan dari instansi pemerintah. Kadang mereka mem-booking tempat untuk acara pesta ulang tahun dan meeting room untuk para pengunjung dari kalangan instansi pemerintah,” katanya seraya menambahkan sudah banyak pesohor yang datang ke tempat ini seperti mantan Wapres Try Soetrisno dan artis Nabila Syakib. Lebih lanjut Yoyo menambahkan bahwa tempat ini juga menyediakan fasilitas taman bermain anak-anak dan ruang karaoke organ tunggal.

Seorang pengunjung, Pak Hasan, yang datang bersama keluarga lengkap mengaku sebagai pelanggan tetap rumah makan ini. Dari rumahnya dibilangan Cibubur, ia sengaja mengajak keluarganya untuk makan-makan seraya menikmati suasana alam pedesaan yang masih nampak asri.

“Enak makan di sini. Makanannya pas di lidah dan suasana lingkungannya masih asri, jauh dari hiruk pikuk keramaian kota. Sangat cocok untuk refreshing dan menjalin keakraban anggota keluarga,” katanya sembari tersenyum ramah.

Tempat ini buka setiap harinya dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 19.00 malam. Untuk Sabtu dan Minggu merupakan hari yang ramai oleh pengunjung. Hari Senin sampai Jumat, pengunjung diperbolehkan memilih sendiri ikan yang ada dikolam-kolam (balong).

Suasana alam pedesaan yang asri kini sudah seperti oasis yang memberikan kesegaran jiwa masyarakat perkotaan. Nampaknya, RM Jatinunggal mampu memberikan obat penawar rasa sumpek orang-orang kota yang lelah bergelut dengan hiruk pikuk permasalahannya.

Teks dan Foto: Harry Tanoso/Wisatanet.com
Sumber : Wisatanet

Mencari Tempat Rakyat di Zaman Megaproyek

Pengantar:Litbang Redaksi Republika mengadakan jajak pendapat menyigi
pandangan warga Jakarta tentang megaproyek kota mandiri Jonggol. Lewat
sigi ini warga Jakarta meminta pemerintah dan pengembang
mempertimbangkan ekses lingkungan dan sosial megaproyek itu. Tulisan
berikut merefleksikan temuan sigi ke dalam konteks yang lebih besar

.

Jonggol adalah sebuah kota kecamatan yang tidak terlalu dikenal.
Terletak di ruas jalan Cibubur-Cianjur, Jonggol berudara cukup sejuk
dengan lingkungan yang rindang. Tanahnya yang merah menandai suburnya
wilayah perbukitan ini.

Sejuk, rindang, tanah merah, subur, dan perbukitan, adalah "identitas"
yang gampang ditemui di banyak tempat di republik yang pernah disebut
Koes Plus sebagai "tanah surga" ini. Karena itu, identitas Jonggol
memang tak khas amat. Jonggol pun tak terlalu dikenal.

Tapi itu cerita lama. Semenjak akhir 1996 lalu, Jonggol mendadak
sontak jadi primadona media massa. Jonggol jadi terkenal. Wajar saja
bila nyaris semua responden jajak pendapat Republika tahu Jonggol.
Sekitar 45 persen atau 133 dari 300 responden bahkan mengaku tahu di
mana letak Jonggol.

Adalah megaproyek Kota Mandiri Bukit Jonggol Indah (BJI) yang
"berjasa" mempopulerkan Jonggol. Megaproyek yang rencananya akan
digarap konsorsium Bambang Trihatmodjo dan Haryadi Kumala (Grup
Kaestindo) -- di bawah bendera PT Bukit Jonggol Asri (BJA) -- ini akan
melahap lahan seluas 30 ribu hektar: Lima kali Bumi Serpong Damai atau
60 kali kawasan elite Pondok Indah. Megaproyek ini membentang
sepanjang 36 km di sisi jalan Cibubur-Cianjur, konon bakal beres
dikembangkan dalam 25 tahun, dan bakal melahap dana raksasa: 100
triliun rupiah!

Megaproyek itu pun menambah deretan proyek kota mandiri yang sudah
menggejala sejak 12 tahun lampau. Bagaimana sebetulnya sikap
masyarakat terhadap megaproyek ini? Jajak pendapat Republika memberi
jawabannya: Kecemasan.

Umumnya responden mencemaskan dampak megaproyek Jonggol terhadap
keseimbangan ekologi (lingkungan) dan sosial. Jonggol sebagai daerah
resapan air akan rusak; rakyat kecil bakal tersingkir; Jonggol bakal
jadi kota besar yang memanjakan kalangan berpunya sekaligus tak lagi
ramah terhadap orang kebanyakan; itulah suara-suara kecemasan yang
terekam.

Terhadap sejumlah kecemasan itu sebetulnya telah tersedia sedikit
jawaban. Pemerintah Jawa Barat dan pihak pengembang (PT BJA) telah
menjelaskan bahwa lahan seluas 30 ribu hektar tak akan dihabiskan
untuk pengembangan kota dan pemukiman. Setengah dari luas lahan itu,
menurut mereka, akan dialokasikan untuk kawasan non-perkotaan,
pemeliharaan, dan konservasi. (Lihat Tabel).

Namun, kecemasan itu boleh jadi tak bakal redup dengan sedikit jawaban
di atas. Sebab, kecemasan itu tampaknya merefleksikan sesuatu yang
lebih besar: Kecemasan rakyat akan datangnya "zaman megaproyek".

Dengan catatan rekor yang dimilikinya, proyek Jonggol merupakan satu
(lagi) proyek berskala raksasa. Ini memang menandai makin tegasnya
kedatangan "zaman megaproyek" ke tengah kita: pembangunan kawasan
industri, reklamasi pantai, pembangunan pabrik kimia, penambangan
emas, pembangunan jalan tol lingkar kota dan subway, dan seterusnya.

Tampaknya ada kecemasan bahwa pelbagai megaproyek yang sudah, sedang
atau akan digarap itu tak saja melahap dana dan lahan besar, namun
juga memangsa kepentingan rakyat kecil. Lahan yang luas, misalnya,
dicemaskan bakal makin berfungsi bisnis-komersial sambil
menenggelamkan fungsi sosialnya.

Maka sangat tepat dan beralasan, ketika menyetujui pembangunan
megaproyek Jonggol, Presiden Soeharto menyelipkan sebuah pesan
penting. "Jangan menyingkirkan dan membuat lebih melarat penduduk
setempat," kata Presiden.

Pesan Presiden tak saja penting secara tekstual (apa yang tertulis)
namun juga kontekstual (konteks yang dicakup pesan itu). Pesan itu
sebangun dengan pesan sejenis dari Gubernur Jawa Barat ("Penduduk
setempat jangan dipindahkan dan harus memperoleh pekerjaan di kawasan
itu") serta harapan Gubernur DKI Jakarta ("Perhatikan soal ekses
lingkungan proyek itu").

Pada tingkat permukaan, pesan itu seolah gampang dijalankan, tapi
pengalaman pembangunan selama ini menunjukkan sebaliknya. Sebuah
megaproyek boleh jadi memang sanggup menyerap angkatan kerja, tapi
belum tentu peduli pada soal gegar sosial-budaya yang diderita
masyarakat sekelilingnya lantaran perubahan dramatis dari lingkungan
agraris-desa ke lingkungan modern-kota. Kasus pengembangan kawasan
industri di Botabek bisa bercerita banyak soal ketidakpedulian ini.

Pendeknya, megaproyek boleh saja mengepung kita namun mesti dibarengi
dengan tegasnya pengaruh positif ekonomi, sosial, budaya, dan politik
proyek itu bagi rakyat banyak. Hasil jajak pendapat Republika, dalam
batas tertentu, merefleksikan tuntutan tersebut.

Dalam konteks itu, menyangkut kasus Jonggol, skeptisime
(keragu-raguan) kita yang cenderung ke soal teknis, misalnya, mesti
diluruskan ke soal yang lebih mendasar. Sejauh ini yang lebih kerap
muncul memang keragu-raguan tentang "mana mungkin dalam 25 tahun
megaproyek Jonggol bisa selesai sementara BSD dalam 12 tahun belum
apa-apa dan kawasan Pondok Indah baru rampung dalam 35 tahun". Atau
"dari mana dana 100 triliun rupiah bisa digaruk oleh PT BJA".

Alih-alih memusatkan diri pada skeptisisme di seputar soal teknis
macam itu, lebih produktif mengajukan skeptisisme lebih mendasar:
Sanggupkah megaproyek itu memadukan aspek bisnis-komersial yang sudah
tercium kuat sejak awal dengan kepentingan sosial rakyat banyak?

Ya. Megaproyek Jonggol yang sudah memperoleh dukungan penuh dari
pemerintah pusat dan daerah itu mudah-mudahan bisa jadi contoh betapa
rakyat masih punya tempat yang layak di tengah zaman megaproyek.

Sumber : Republika Online Edisi Senin, 24 Pebruari 1997, disadur dari sini

Berkaitan Proyek Jonggol, Pemda Bogor Harapkan tak Ada Intimidasi

BOGOR -- Disetujuinya mega proyek Kota Mandiri Bukit Jonggol Asri (KMBJA)
diduga segera menimbulkan fluktuasi harga tanah. Tak hanya harga tanah di
wilayah yang terkena proyek, tapi juga daerah sekitarnya. Para spekulan
tanah kabarnya mulai mengincar tanah-tanah di sekitarnya.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang dapat merugikan warga setempat, Pemda
Bogor mulai merencanakan tindakan "pengamaman" seperti yang diinginkan
Gebernur Jawa Barat R. Nuriana. Kahumas Pemda Kabupaten Bogor H. Denny M.
Moechry, BA, kemarin, mengatakan dalam proses jual beli tanah di kawasan
Jonggol tidak boleh ada intimidasi. "Ini perlu ditegaskan pada masyarakat
di sana. Persoalan Jonggol adalah persoalan bisnis. Jadi dalam penentuan
harga tanah harus dimusyawarahkan dengan warga pemilik tanah," katanya.

Presiden Soeharto, Rabu (18/12), menyetujui rencana pembangunan KMBJA
seluas 30 ribu hektar itu. Persetujuan ini, kata Denny, diperkirakan akan
menimbulkan fluktuasi harga tanah. "Kami menginginkan agar warga yang
menjual tanahnya kepada pihak pelaksana proyek tidak merasa dirugikan
karena harus pindah ke wilayah lainnya," katanya.

Apa yang diharapkan Pemda Bogor, kata Denny, sesuai dengan yang
dimaksudkan oleh Presiden bahwa pembangunan kawasan Jonggol tidak boleh
menimbulkan kerugian pada rakyat kecil.

Menurut Denny, penentuan harga tanah didasarkan pada tiga hal. Pertama,
harga dasar, yaitu standar harga yang ditetapkan oleh kecamatan dan
disyahkan oleh bupati. Kedua, berdasarkan nilai NJOP (Nilai Jual Objek
Pajak). Dan, ketiga, berdasarkan harga umum.

Kedua dasar pertama itu ditentukan oleh pemerintah, dan biasanya terjadi
pada kasus pembebasan tanah untuk kepentingan umum atau pemerintah. Sedang
penentuan harga tanah berdasarkan katagori terakhir, semata adalah untuk
kepentingan bisnis. "Dalam kasus Jonggol ini termasuk katagori ketiga,"
katanya.

Masyarakat, katanya, hendaknya berhati-hati jika ada oknum yang mencoba
mengintimidasi mereka. "Sebab dalam kasus-kasus seperti ini sering ada
oknum seperti itu," katanya.

Namun, Denny juga mengimbau agar musyawarah yang dilakukan antara warga
dan pihak proyek dalam penentuan harga tanah berpatokan pada harga yang
wajar, dengan tidak merugikan salah satu pihak. "Pada dasarnya kami
menyerahkan semuanya pada musyawarah warga dan pihak proyek. Kami hanya
mengawasi," katanya.

Mega Proyek KMBJA yang berlokasi 40 km Tenggara Jakarta itu akan meliputi
luas wilayah 30 ribu hektar, mencakup tiga kecamatan, Jonggol, Cileungsi,
dan Ciriu.

Untuk mewujudkan rencana raksasa itu, Pemda Jabar menarik swasta besar,
yakni PT Bukit Jonggol yang presiden komisarisnya adalah Mayjen TNI (Purn)
Arie Sudewo dan dirutnya Bambang Trihatmodjo. Bisa saja, menurut Gubernur,
PT Bukit Jonggol membentuk konsorsium.  mal

Sumber : Republika Online Edisi Jum'at, 20 Desember 1996, disadur dari sini

Sekitar 80 Persen Lahan Kering di Jonggol 'Dikuasai' Orang Jakarta

BOGOR -- Sekitar 80 persen lahan kering di Jonggol, Bogor, Jabar, kini
sudah dikuasai orang-orang Jakarta. "Anak saya bekerja sebagai perantara
pembeli dan penjual tanah. Jadi, saya tahu soal ini," kata seorang
penyuluh pertanian yang tak mau disebut namanya.

Namun, kata penyuluh pertanian itu, warga Jonggol, terutama Jonggol
selatan, kini masih memiliki lahan basah yang ditanami padi. Ada juga yang
dijadikan kebun pisang dan singkong. "Bukit Solasih, di Desa Sukanegara,
juga masih dimiliki warga. Mereka menanaminya dengan pohon petai," katanya
kepada Republika, kemarin.

Banyaknya lahan kering di Jonggol yang dikuasai orang Jakarta itu
dibenarkan oleh Bakar, 45, yang telah tinggal di sana sejak 20 tahun lalu.
Ia mengaku sering berhubungan dengan warga Jakarta yang mencari tanah di
Jonggol. "Kebanyakan yang membeli tanah di sini warga keturunan Cina dan
ABRI. Bapak lihat sendiri di sana, berhektar-hektar tanah sudah diberi
pagar kawat dan dipasang papan nama pemilik tanah," katanya sambil
menunjuk bukit di sebelah selatan.

Orang-orang Jakarta itu, kata Bakar, hanya datang ke Jonggol pada hari
libur. Banyak juga warga Jakarta yang hanya memiliki tanah, sedang isinya
diserahkan kepada penduduk untuk diolah. Tanah-tanah yang telah dikuasai
warga Jakarta itu kebanyakan dibiarkan begitu saja, walaupun ada juga yang
dirawat dan ditanami pohon palm.

Namun, seorang pegawai Kecamatan Jonggol yang tinggal di Kemantren,
Sukamakmur, mengatakan masih banyak lahan di wilayah selatan Jonggol yang
dikuasai warga. "Memang benar kawasan Jonggol sekarang banyak didatangi
warga Jakarta. Tetapi tidak benar kalau wilayah itu hampir seluruhnya
dikuasai orang asing. Masih banyak kok yang dikuasai warga. Mungkin lima
puluh persen lahan masih dikuasai mereka," katanya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh Kepala Desa Sukamakmur M Maskul kepada
Republika. "Lahan di sini masih banyak yang belum dijual kepada warga
Jakarta. Memang benar sejak dulu banyak orang-orang luar yang mendatangi
desa ini. Kalau tidak salah ada 10 - 12 orang Jakarta yang membeli tanah
di sini," katanya.

Bagi M Maskul, kalau ada yang mau beli tanah warga, silakan saja.
"Bukankah selama ini SK pengaturannya belum ada, dan pihak-pihak yang
berkepentingan belum menghubungi saya. Informasi yang selama ini
berkembang hanya melalui media massa, bukan resmi dari pihak atas,"
katanya.

Seorang aparat kecamatan yang tidak bersedia ditulis namanya juga
menyebutkan, tidak benar kalau tanah warga sudah dikuasai warga Jakarta.
Bahkan ia bisa menyebutkan dengan angka. "Tidak lebih dari sepuluh persen
kawasan Jonggol yang sudah dimiliki warga Jakarta," katanya.

Menurut pengamatan Republika, di kawasan selatan Kecamatan Jonggol memang
telah banyak tanah-tanah berkawat dan berpapan nama. Kebanyakan tanah yang
tidak produktif.

Orang Jakarta sudah mengincar tanah Jonggol sejak 1980-an, ketika harga
tanah di sana masih sangat murah, sekitar Rp 75 per meter. Ketika itu
warga Jakarta sudah ada yang datang mencari tanah di sana.

Bisnis tanah di Jonggol makin menjadi sejak ada PT Fajar Loka Permata
(salah satu anak perusahaan kelompok Kaestindo) dan PT Kartika Pola Reksa,
yang membebaskan tanah untuk kepentingan proyek Kota Mandiri Bukit Jonggol
Asri.

Menurut Mustaal, warga setempat, bisnis jual beli tanah kini malah sudah
menjalar ke aparat pemerintah. "Mas kalau cari tanah jangan melalui kepala
desa, nanti harganya lebih mahal," kata Mustaal memperingatkan.

Warga Jonggol yang lain, Imam Setiadi, malah mengatakan beberapa kepala
desa kini ikut-ikutan jadi spekulan tanah. Moh Jabar, kepala Desa Suka
Damai, mengakui telah terjadi pembebasan tanah di daerahnya. "Kurang lebih
127 ha tanah berbukit dan bertebing telah dibeli oleh PT Kartika Pola
Reksa," katanya.  mal/ttw

Sumber : Republika Online Edisi Jum'at, 27 Desember 1996 , disadur dari sini

Memahami proyek Jonggol

Jonggol yang dikenal sebagai lumbung padi dan salah satu daerah
penghasil buah-buahan di Jawa Barat kemungkinan besar berubah status
menjadi wilayah kosmopolitan.

Perubahan status itu berkaitan dengan proposal yang diajukan oleh PT
Bukit Jonggol Asri (BJA). Konsorsium itu, yang dibentuk pengusaha
Bambang Trihatmodjo dan Grup Kaestindo [milik pengusaha Haryadi
Kumala], ingin mengembangkan Jonggol menjadi semacam kota mandiri,
yang di dalamnya terdapat perumahan beserta sejumlah fasilitas seperti
government area, kawasan wisata, olahraga, hutan, dan areal pertanian.

Usulan konsorsium itu menimbulkan pro-kontra dengan argumentasi
masing-masing. Pro-kontra itu lebih bersumber pada usulan, yang ingin
meningkatkan status Jonggol menjadi semacam kota administratif
dilengkapi dengan government area [kawasan pemerintahan]. Di sinilah
sebenarnya letak silang pendapat itu, karena memang belum jelas benar
definisi mengenai kawasan pemerintahan. Apakah pemerintahan pusat
ataukah pemerintahan daerah?

Mereka yang pro menilai gagasan itu sebagai salah satu upaya
mengurangi kepadatan dan kesibukan Jakarta sebagai lokasi berkumpulnya
kantor pemerintahan pusat. Dengan dijadikan sebagai government area,
sudah tentu kesibukan Jakarta bakal berkurang, selain berupaya
memeratakan pengembangan wilayah ke daerah baru yang potensial.
Pandangan ini jelas didasarkan atas pertimbangan bahwa sudah terlalu
luasnya fungsi Jakarta. Jakarta bukan hanya menyandang status sebagai
ibukota negara tetapi juga pusat bisnis-keuangan, wisata dan
sebagainya. Padahal, daya dukung Jakarta kian berkurang.

Sebaliknya, mereka yang kontra berpendapat bukan hal yang gampang
menjadikan Jonggol sebagai kawasan pemerintahan. Sebagai government
area, Jonggol memerlukan perencanaan yang terpadu dari berbagai aspek
dan disiplin ilmu. Hal ini bukan pekerjaan mudah, melainkan tugas yang
memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak kecil.

Sebagai kawasan pemerintahan, Jonggol pun membutuhkan penataan yang
benar-benar dapat menunjang fungsi tersebut. Padahal, dari berbagai
pengalaman, tata ruang justru merupakan masalah yang cukup pelit.

Kita tidak hendak berusaha membahas silang pendapat mengenai usulan
itu, kecuali hanya ingin mengkaji kelebihan sekaligus kekurangannya.
Karena kita percaya bahwa silang pendapat itu justru akan lebih
memperkaya dan menumbuhkan kreativitas, sehingga keputusan yang bakal
diambil justru lebih berbobot.

Namun lepas dari pro-kontra itu, kita membutuhkan pemikiran dan kajian
yang seksama dan jernih agar hasil yang diperoleh benar-benar
maksimal. Hal itu bukan merupakan hambatan, tetapi justru sebagai
argumentasi agar dapat memberi arah yang tegas dan jelas dalam
mencapai tujuan dimaksud.

Sikap kritis dalam pro-kontra itu menandakan betapa masyarakat makin
berpartisipasi dalam setiap kegiatan pembangunan. Kekritisan itu juga
membuktikan betapa masyarakat makin bertanggungjawab terhadap setiap
gerak langkah dan arah pembangunan, mengingat kegiatan tersebut
membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak kecil, selain berbagai
dampak yang bakal terjadi.

Tidak sama memang apa yang diusulkan BJA dengan kondisi yang dialami
Brasilia, misalnya. Tapi rasanya tidak berlebihan bila kita juga
belajar dari apa yang dialami Brasil saat negara itu memindahkan
ibukotanya ke Brasilia. Saat itu Brasil bangkrut karena anggaran
negara sebagian besar tersedot untuk kegiatan tersebut.

Kita juga percaya bahwa usulan itu telah memperhitungkan berbagai
aspek yang sudah selayaknya diperhatikan oleh BJA. Aspek tata ruang,
misalnya, merupakan masalah yang sangat penting, mengingat hal itu
menjadi dasar bagi pengembangan suatu wilayah perkotaan.

Selain itu, kita tentu percaya dan berharap konsorsium BJA juga telah
memikirkan secara matang bahkan menuangkan segala gagasan yang tetap
memperhatikan fungsi Jonggol sebagai wilayah resapan air. Artinya,
dalam mengembangkan Jonggol, aspek daya dukung wilayah, fungsi, dan
potensi tetap merupakan landasan yang tidak dapat diabaikan. Karena
hanya dengan cara demikianlah kita boleh berharap Jonggol benar-benar
dapat dijadikan sebagai kota alternatif dan pengembangan wilayah yang
terpadu dengan Jakarta sebagai ibukota dan Jawa Barat sebagai provinsi
menunjangnya.

Sumber : Disini

Jonggol, Proyek Satu Abad

Jakarta penuh sesak. Penduduknya berjumlah sekitar 10 juta jiwa. Belum lagi jumlah kendaraan yang mencapai hampir dua juta unit. Pembangunan gedung jangkung terus bertambah, sementara persediaan tanah semakin kritis dan harganya melambung tinggi, nyaris tidak terjangkau oleh pengembang properti dan lahan yasan (real estate).

Alternatifnya, pembangunan permukiman dan kawasan bisnis diarahkan ke pinggiran atau yang dikenal dengan sub-urban. Salah satu pengembang yang mengantisipasi pembangunan sub-urban atau kota baru adalah PT Bukit Jonggol Asri (BJA). Sebagian besar saham perusahaan itu milik Bambang Trihatmodjo, putra Presiden Soeharto.

Rencana PT BJA untuk membangun sebuah kota batu tidak tanggung-tanggung. Perusahaan itu mengalokasikan lahan sedikitnya 30.000 hektare, yang terbentang dari Citereup sampai Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sekitar 24 desa di tiga kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur akan disulap menjadi kota metropolitan lengkap dengan segala fasilitasnya. Untuk mewujudkan kota baru itu diperlukan dana sedikitnya US$ 24 miliar atau setara Rp 56,4 triliun sekarang. Jika nilai rupiah terhadap dolar AS terus melemah, nilai investasi itu bisa mencapai Rp 70 triliun. Itu merupakan jumlah investasi yang fantastis, karena dilakukan oleh swasta.

Belum lagi jangka waktu pembangunan yang mungkin baru selesai seluruhnya dalam 50 tahun atau 10 Pelita. Jakarta, misalnya, dengan luas 65.000 hektare, setelah 51 tahun Indonesia merdeka, pembangunannya masih belum selesai. Pengadaan perumahan yang layak baru gencar dilakukan pada tahun 1972. Kawasan komersial, seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan, mulai ramai baru dalam dasawarsa l990-an. Jakarta, sebagai ibu kota negara, penanganan dan pembiayaannya memang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Itulah sebabnya rencana pembangunan kota baru BJA sekarang ini menjadi pembicaraan di mana-mana. Apalagi, santer isu ibu kota negara akan pindah dari Jakarta ke Jonggol . Pro dan kontra bermunculan. Tapi, terlepas benar atau tidaknya rencana memindahkan ibu kota itu, pembangunan kota baru di Jonggol, kalau terwujud, adalah prestasi tersendiri . Sampai sekarang belum ada di dunia ini swasta mampu membangun proyek properti dan lahan yasan seluas 30.000 hektare. Jika Badan Pertanahan Nasional menyetujui alokasi lahan yang diinginkan PT BJA, pembebasan tanah telah dilakukan, Bambang Trihatmodjo akan menjadi raja properti dunia, menggeser Donald Trumph (yang nyaris kolaps) dan mengalahkan Li Ka Sing (raja properti dari Hong Kong yang proyeknya tersebar di mancanegara). Sebenarnya, dalam PT BJA, Bambang tidak sendiri. Dia menggandeng Swie Teng alias Haryadi Kumala, spekulan tanah yang sangat terkenal di kalangan pengembang dan pemilik Grup Kaestindo.

Direksi PT BJA maupun Grup Kaestindo ketika diminta konfirmasinya memilih tutup mulut. Tidak ada seorang pun yang mau berkomentar. Susi, sekretaris Swie Teng yang berkantordi Lantai XXV Menara Sudirman, tidak menjelaskan keberadaan bosnya, malah menunjuk seorang pria berbadan tegap berpakaian safari dengan kumis tebal.

Di kalangan pengembang, isu pembangunan kota baru Jonggol sudah tersebar sejak tahun lalu. Mereka mengaitkan instruksi Presiden Soeharto kepada Pemda Jawa Barat agar tidak lagi memberikan izin untuk pembangunan vila dan bangunan lain di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). Rumor yang berkembang kemudian diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Soni Harsono, yang tidak lagi mengeluarkan izin untuk proyek lahan yasan di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Ketika D&R meminta pendapat beberapa pengembang mengenai rencana PT BJA dan pernyataan pejabat pemerintah, mereka enggan memberikan komentar secara langsung, apalagi jika namanya disebut sebagai narasumber. "Kami tidak ingin mengusik dapur orang lain agar dapur kami dapat ngebul terus," kata pengembang lain yang memiliki proyek tidak jauh dari lokasi kota baru Jonggol.

Namun, Johannes Tulung dari PT Kuripan Raya melihat proyek itu belum bisa dianggap ancaman, karena rencananya masih di atas kertas. Menurut dia, antara rencana dan implementasi memerlukan waktu cukup lama. "Waktu 10 tahun belum cukup untuk melihat keberhasilan pembangunan sebuah kota baru. Masih banyak peluang yang bisa kami raih," kata Tulung, yang kini menangani proyek Telaga Kahuripan di daerah Parung, Jawa Barat, yang salah seorang pemiliknya adalah Grup Bimantara.

Konsep dan perencanaan kota baru Jonggol secara de facto sebenarnya sudah mendapat persetujuan dari pemerintah dan tinggal menunggu lampu hijau langsung dari Presiden Soeharto. Proyek itu memang akan dipresentasikan di hadapan kepala negara sebelum akhir tahun ini. Herman Haeruman, Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah, setelah menghadiri presentasi Grup Kaestindo mengenai proyek tersebut, menyatakan kepada Rebeka Harsono dari D&R bahwa rencana kota baru Jonggol sah-sah saja sebagaimana pembangunan proyek sejenis yang sudah ada sebelumnya. "Kalau memang bisa mandiri, mengapa tidak kita buat kota yang tidak perlu lagi bergantung pada Jakarta sebagai kota induk?" kata Herman.

Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, melihat rencana kota baru Jonggol adalah proyek yang belum jelas karena status dan surat keputusan (SK) lokasinya sampai sekarang belum keluar. "Proyek ini belum pantas dikomentari. Tapi memang fenomena baru dalam pembangunan kota," kata Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) itu kepada Budi Nugroho dari D&R.

Akan tetapi benarkah pembangunan Jonggol merupakan fenomena baru dalam pembangun kota seperti yang dinyatakan Panangian? Sebenarnya, pembangunan kota baru sudah banyak dilakukan di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh pemerintah. Di Jakarta misalnya Thomas Karsten sudah merencanakan kota baru Kebayoran Baru pada tahun 1948 dan mulai digarap tiga tahun kemudian.

Akan halnya pembangunan kota baru yang diarahkan untuk mandiri pertama kali dilakukan swasta pada tahun 1989, yaitu proyek Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD). Pemiliknya adalah konsorsium 10 perusahaan milik empat taipan besar (Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, dan Sudwikatmono). Konsorsium itu rencananya akan membangun sebuah kota seluas 6.000 hektare atau tiga kali luas Kodya Bogor.

Setelah pembangunan Kota Mandiri BSD, di Jabotabek bermunculan proyek sejenis, seperti Cikarang Baru (5.400 hektare), Lippo Cikarang (5.000 hektare), Kota Tigaraksa (3.000 hektare), Bintaro Jaya (2.300 hektare), Citra Raya Kota Seni (2.500 hektare), Bukit Sentul (2.000 hektare), Kota Legenda (2.000 hektare), Lido Lake Resort (1.700 hektare), Gading Serpong ( 1.700 hektare), Puri Jaya ( 1.600 hektare), dan Citra Indah ( 1.200 hektare). Masih ada dua proyek besar lagi yang izinnya sudah diberikan, yaitu Kapuk Naga (8.000 hektare) dan Pantura Jakarta (2.700 hektare).

Membangun kota baru memang tidak semudah menggarap proyek properti lainnya. Beberapa aspek sangat menentukan, seperti perencanaan, konsep, pendanaan, dan pemasaran. Yang dikatakan Johannes Tullung bisa jadi benar: para pengembang tidak mungkin terancam dalam waktu 10 tahun karena kehadiran Jonggol. Sebagai contoh, BSD sebagai proyek kota mandiri pertama di tanah air telah disiapkan sejak tahun 1983, pembangunannya baru dimulai Januari 1989. Dalam waktu enam tahun, pengembang proyek tersebut harus menyiapkan seluruh aspek tadi secara mendalam dan mengkoordinasikannya dengan instansi pemerintah yang terkait.

Dalam perencanaannya, proyek BSD baru rampung keseluruhan dalam waktu 25 tahun. Menurut Dirut PT BSD, Budiarsa Sastrawinata, proyek yang diperkirakan menelan investasi untuk infrastruktur sekitar Rp 5 triliun itu diharapkan rampung pada tahun 2015. Pembangunan proyek tersebut, lanjutnya, menerapkan perkembangan wajar dan alamiah dengan mengutamakan pertumbuhan penduduk. "Dari segi fasilitas memang agak lambat; sedangkan tingkat pertumbuhan penduduknya mencapai 15 persen per tahun."

Memang, baru setelah pertumbuhan penduduk meningkat, investor melirik kota mandiri itu untuk dijadikan basis investasi. Baru-baru ini, delegasi dagang dari Jerman yang dipimpin langsung oleh Kanselir Helmut Kohl langsung menandatangani kesepakatan untuk membangun Pusat Jerman di BSD yang terdiri kawasan industri, sekolah, pusat penelitian, serta lembaga ekonomi. Investasinya sekitar Rp 4,5 triliun.

Soalnya, penduduk dengan berbagai strata sosial dan ekonomi adalah motor utama untuk mewujudkan kemandiriannya. Tanpa penduduk, bagaimana mungkin membangun gedung perkantoran, kawasan industri, atau pusat perbelanjaan skala besar? Siapa yang akan membeli? Darimana memperoleh pekerja? Untuk mewujudkan sebuah kota yang mandiri, kata Johannes Tullung yang juga salah seorang pengurus Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI), Jonggol nantinya harus memiliki basis ekonomi yang kuat. Di wilayah itu, setidaknya harus digabungkan kantor pemerintah, kawasan bisnis dan industri.

Yang jelas, pembangunan perumahan, apalagi kota baru, harus mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Setiap rencana yang mikro, berdasarkan UU tersebut, harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang makro. Kenyataannya, sebagian besar daerah tingkat II belum memiliki RTRW yang disahkan oleh DPRD. Seperti Bogor, yang melingkupi wilayah Jonggol, sampai sekarang RTRW-nya masih parsial. Belum lagi faktor pendanaan yang akan menyerap tliliunan rupiah masih membayangi para pengembang. Sikap hati-hati memang banyak dilakukan pengembang besar agar proyeknya dapat berjalan sesuai rencana tanpa mengganggu likuiditas keuangan perusahaan maupun grupnya. Gencarnya pembangunan fasilitas yang "wah" dan sebenarnya belum perlu di Lippo Karawaci menjadi pelajaran berharga. Bukan tidak mungkin, baru 100 tahun lagi kota baru Bukit Jonggol Asri bisa berdiri utuh -- itu pun kalau jadi.

Sumber :Tempo Interaktif, Edisi 39/01 -21/Nov/1996

Proyek Jonggol: Jangan Terjadi Pemusatan Modal

Proyek Jonggol: Jangan Terjadi Pemusatan Modal

Rencana pembangunan proyek kota mandiri terpadu Bukit Jonggol Asri
seluas 30.000 hektare itu harus memperhatikan aspek re-evaluation
system development. Mengapa?
Inilah sebuah konsep kota mandiri yang benar-benar terpadu. Namanya,
Bukit Jonggol Asri, seluas 30.000 hektare, di kawasan Jonggol, Bogor,
Jawa Barat. Menurut rencana, penggunaan lahannya, antara lain, kawasan
lindung, sawah, pariwisata, hutan wisata, perkebunan, taman safari,
kawasan industri, dan permukiman. Dan pengembangan kawasan tersebut
akan berlangsung selama 25-30 tahun mendatang. Seorang konsultan
memperkirakan biaya yang dibutuhkan sangat besar, bisa mencapai Rpl00
triliun.
"Megaproyek itu kelak berupa kota mandiri, yang tidak seperti kota
baru lainnya yang sudah dibangun di Bogor, Tangerang, dan Bekasi -
yang seluruhnya masih tergantung pada kota induknya, Jakarta," ungkap
Bambang Trihatmodjo, sebelum jumpa pers akhir tahun kelompok usaha
Bimantara, di Jakarta, Jumat (20 Desember) lalu. Boleh dibilang,
megaproyek kota mandiri Bukit Jonggol Asri ini merupakan pembangunan
kota mandiri yang terbesar di dunia. Dikatakan demikian, karena kota
mandiri North Carolina, AS, yang sekarang dikembangkan sebagai global
trans-park saja cuma seluas ribuan hektare, yang lebih menekankan pada
pembangunan kawasan industrinya ketimbang permukiman.
Ucapan Bambang Tri (sapaan akrab Bambang Trihatmodjo) itu bisa jadi
benar, mengingat belum ada satu pun pengembang yang mempunyai konsep
selengkap itu. Sebut saja, kota mandiri Bumi Serpong Damai milik
Ciputra, seluas 6.000 hektare, di Tangerang. Begitu juga Kota Legenda,
kota mandiri milik Mohamad S. Hidayat, seluas 2.000 hektare, di
Bekasi. Apalagi kualifikasi kota mandiri hingga kini masih belum
jelas. Kriterianya hanya berdasarkan luas lahan yang tersedia berikut
fasilitas penunjangnya.
Oleh karena itu, wajar saja bila Bambang Tri merasa risau terhadap
status megaproyek pembangunan kota mandiri Bukit Jonggol Asri. "Kami
memerlukan izin berupa Keputusan Presiden (Keppres), agar proyek
tersebut mempunyai kepastian hukum," ungkapnya. Bila tidak, dia
mengkhawatirkan kebijakan terhadap proyek itu akan berganti pula
seiring pergantian gubernurnya (Gubernur Jawa Barat, Red.). Dan
Bambang mengharapkan konsep kota mandiri Bukit Jonggol Asri ini bakal
menjadi model pembangunan kota mandiri di provinsi lainnya.

Sumber : Warta Ekonomi, Edisi 6 January, 1997, disadur dari sini

Presiden setujui proyek kota mandiri Jonggol

JAKARTA (Bisnis): Presiden Soeharto menyetujui pembangunan kota mandiri
Bukit Jonggol Asri,
sementara pengembang proyek itu diimbau agar tidak menyengsarakan
penduduk setempat.

"Jangan sampai terjadi penggusuran terhadap masyarakat setempat.
Andaikata pun terjadi
pemindahan penduduk setempat, maka hal itu harus mengakibatkan
peningkatan kesejahteraan
mereka," ujar Presiden Soeharto.

Kepala Negara mengemukakan hal itu seusai mendengarkan pemaparan rencana
pembangunan
kota mandiri tersebut, yang disampaikan Gubernur Jabar, R. Nuriana
didampingi Menneg
PPN/Ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita di Bina Graha, Jakarta, kemarin.

Hadir dalam pemaparan tersebut sejumlah menteri antara lain, Mensesneg
Moerdiono, Menteri
Pekerjaan Umum Radinal Moochtar, Menhut Djamaluddin Soeryohadikoesoemo,
Menneg
Agraria/Kepala BPN Soni Harsono dan Menhankam Edi Sudradjat.

Sedangkan dari konsorsium pengembang proyek itu hadir Preskom PT Bukit
Jonggol Asri (BJA)
Arie Soedewo, Bambang Trihatmodjo [komisaris] dan Presdir PT BJA Haryadi
Kumala bersama
anggota direksi lainnya.

Berdasarkan pemelitian, kata Presiden, pada masa mendatang sekitar 50%
penduduk Indonesia
akan tinggal di daerah perkotaan.

"Kalau pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 300 juta jiwa, maka 150
juta di antaranya hidup
di perkotaan," ujarnya.

Presiden menegaskan Jakarta memang telah memiliki beberapa kota satelit
seperti Bogor,
Tangerang, dan Bekasi (Botabek). Tapi, kata Kepala Negara, sekarang saja
kota satelit tersebut
terasa sudah tidak memadai, apalagi di masa mendatang.

Presiden mencontohkan banyaknya orang yang tinggal di daerah timur, tapi
bekerja di kawasan
barat. Karena mereka menggunakan kendaraan, maka lalulintasnya menjadi
semrawut.

"Proses pembangunan kota baru itu jangan sampai menimbulkan akibat yang
bertentangan
dengan cita-cita pembangunan," tegas Presiden.

Hindari penggusuran

Dalam pengarahan tanpa teks itu, Kepala Negara berulang kali menekankan
pentingnya upaya
menghindari penggusuran terhadap masyarakat setempat.

"Kita harus mempunyai terlebih dahulu blue print (rencana
dasar-Red.)-nya, sehingga
pembangunan di daerah tersebut tidak terjadi acak-acakan," tegas Presiden.

Kepada pengembang PT BJA, Presiden minta agar mereka bekerja secara
berhati-hati sehingga
tidak menimbulkan kesan bahwa pembangunan akan memelaratkan dan menimbulkan
kesengsaraan.

"Pembangunan kita tidak akan mengarah ke sana."

Gubernur Jabar R. Nuriana dalam pemaparannya mengungkapkan luas
keseluruhan Bukit Jonggol
Asri mencapai 30.000 ha yang terbagi atas kawasan perkotaan 15.000 ha.

Kawasan perkotaan meliputi antara lain kawasan industri, kantor
pemerintahan, pusat pendidikan,
gelanggang olahraga, stasiun kereta api dan tempat pemakaman umum.

Sedangkan kawasan non perkotaan yang disiapkan seluas 15.000 sisanya
akan dibangun a.l.
hutan lindung, persawahan dan taman safari. (Lihat tabel).

Lebih lanjut Presiden Soeharto mengemukakan bahwa karena di Bukit
Jonggol Asri akan
dibangun kawasan industri, Kepala Negara menekankan agar dilakukan
perencanaan yang
matang. "Perencanaan yang matang akan mempermudah investor, karena
mereka tidak akan
simpang siur sendirian mencari lahan bagi usahanya."

Sementara itu, beberapa pengurus DPP Realestat Indonesia (REI)
mempertanyakan rencana
pembangunan proyek kawasan Bukit Jonggol Asri.

Di antaranya adalah masalah perizinan, studi kelayakan yang begitu
cepat, tenaga ahli yang
mengerjakannya, dan pengalaman pengembang.

Mereka juga mempertanyakan mengapa studi kelayakan untuk kawasan seluas
30.000 ha itu,
dapat terlaksana begitu cepat. "Apakah proyek ini tidak terlalu besar.
Sejauh ini belum ada proyek
kota baru di dunia seluas itu."

Pengurus REI yang lain mencontohkan pendirian kota mandiri Bumi Serpong
Damai [6.000 ha]
saja-yang dikerjakan oleh konsorsium 10 perusahaan-masih berjalan lamban.

Selain itu, mereka mempertanyakan pengalaman pengembang yang akan
membangun Bukit
Jonggol Asri. "Apakah perusahaan itu pernah berhasil mengerjakan proyek
skala besar?"

Misi tertentu

Sementara itu pakar arsitektur perkotaan, M. Danisworo, mengatakan
sebagai kota baru, Jonggol
memang harus memiliki misi tertentu yang ingin dicapai. Misalnya melalui
industri.

"Kota baru harus memiliki paling tidak dua industri unggulan sehingga
kalau yang satu mati,
masih ada industri lain. Kalau hanya satu industri, maka begitu industri
itu mati kota itu pun mati,"
katanya.

Menurut Danisworo, PT BJA telah memiliki master plan-yang lebih
cenderung disebut structure
plan-dari proyek raksasa tersebut.

"Saya dengar mereka menggunakan konsultan dari AS, tapi saya tidak tahu
apa [nama]
perusahaannya," ujar Danisworo. (ea/san/im/ass)

Sumber : Bisnis Indonesia, Edisi 19 Desember 1996, disadur dari sini

Jonggol, Pudarnya Bekas Calon Ibu Kota Republik

"ETA tah, Mas, di ditu. Sakitar lima kilometer ti Kantor Kecamatan, eta tanah na Kang Singgih (mantan Jaksa Agung). Sabeulah na eujeung Kompleks Marinir, sabeulah na deui Kompleks Kopasus," kata Eudin (35) warga RT 02 RW 02, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, sambil tangannya menunjuk pada sebuah lahan membentang yang berbukit- bukit. (Itu di sana Mas, sekitar lima kilometer dari Kantor Kecamatan, tanahnya Pak Singgih. Adapun di sebelahnya tanah untuk Kompleks Marinir, di sebelahnya lagi untuk Kompleks Kopasus/Komando Pasukan Khusus TNI AD)

DARI kejauhan, tak begitu tampak batas-batas pengaplingan tanah di Kecamatan Sukamakmur (dulu bagian Kecamatan Jonggol yang direncanakan akan menjadi kota mandiri Bukit Jonggol Asri (BJA) dan calon Ibu Kota Republik Indonesia). Di perbukitan itu juga tak ada penanda layaknya areal yang hendak dibangun.

Siapa sangka, tanah perbukitan yang membentang dari barat hingga timur dan yang di sebelah selatan mencapai Desa Sukawangi sudah dikapling- kapling.

Pengaplingan kawasan itu mulai tahun 1995, sejak disetujuinya kawasan Jonggol untuk dijadikan kawasan permukiman mewah dan pemindahan kantor pemerintahan. Perubahan peruntukannya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 1327/MenhutVII/1995.

Tak hanya di tempat itu, bukit gundul yang berjarak satu kilometer di depan Kantor Kecamatan Sukamakmur (sebelumnya bukit rimbun dengan pohonnya yang lebat) kini dikuasai pengembang BJA.

Eudin beruntung. Ia salah satu warga dari hanya ratusan warga desa Sukamakmur lainnya yang tak keburu menjual lahan pertanian dan perkebunannya kepada pengembang atau biong (makelar tanah).

Menurut Kepala Seksi Kependudukan Kecamatan Sukamakmur Edi Rahman diperkirakan sekitar 70 persen penduduk Kecamatan Sukamakmur, yang jumlahnya 64.712 jiwa terdiri atas sekitar 20.000 keluarga, telah menjual lahan mereka kepada pihak pengembang.

Dengan luas wilayah keseluruhan Kecamatan Sukamakmur 15.409 hektar (ha), paling tak diperkirakan sudah ada sekitar 10.100 ha tanah yang telah dibebaskan. Luas itu hampir sama dengan luas Kota Bogor yang telah mengalami perluasan, atau seperenam luas DKI.

Itu baru di Kecamatan Sukamakmur, belum yang di Kecamatan Jonggol, Cariu, Cileungsi, Citeureup, dan Kecamatan Cisarua. Diperkirakan tanah yang telah dibebaskan mencapai hampir 15.000 ha, separuh luas yang ditargetkan semula, yaitu 30.000 ha.

Sejak isu pembangunan kawasan kota mandiri BJA yang sekaligus Ibu Kota Republik memudar, para pengembang buru-buru angkat kaki dari situ. Mereka pergi begitu saja. Pohon-pohon di hutan lindung yang telah dibabat dibiarkan. Jalan-jalan dibiarkan rusak. Yang tersisa dari rencana besar itu hanya bukit-bukit gundul dan tanah-tanah yang dikapling, kini sebagian besar bukan lagi milik warga setempat.

Kawasan bekas calon Ibu Kota Republik yang didengung- dengungkan bisa menjadi magnet tandingan untuk mengurangi tekanan permukiman di Jakarta sekarang ini terlihat merana.

Makin merana lagi, setelah jalan yang menjadi jalur untuk akses ke Kecamatan itu dari tiga tempat: Jonggol, Cianjur, dan Citeureup, sudah tak layak lagi.

Dari kawasan Jonggol, misalnya, jalanan di dekat perbatasan Jonggol-Sukamakmur sepanjang lima kilometer rusak berat. Kondisi fisik jalan yang rusak dan berlubang hingga mencapai kedalaman 40 sentimeter. Belum lagi jembatannya sudah banyak yang rusak dan berlubang. Jangan harap mobil ukuran sedang, seperti sedan atau Kijang bisa leluasa melintas.

Dari arah Cianjur lebih parah lagi. Bila hujan turun, mobil praktis tak bisa melintas. Jalanan berbatu-batu besar yang tak jarang merusak ban. Jalan tembus sepanjang sekitar lima kilometer itu sepertinya sengaja dibiarkan untuk menjadikan Sukamakmur makin terisolasi.

Jalan akses masuk dari Citeureup meski sedikit lebih bagus, tetapi masih menyisakan perjuangan bagi pengemudinya. Dari Citeureup untuk mencapai calon Ibu Kota Republik yang batal itu membutuhkan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam.

Jalannya berbahaya dengan tanjakan yang curam dan berada di antara tebing dan jurang. Belum lagi pintu masuk dari Citeureup yang macetnya minta ampun. Bisa dibayangkan, dengan kondisi seperti sekarang ini, tanpa kehadiran BJA siapa yang mau melirik kawasan Jonggol dan Sukamakmur?

Bahkan, tak kurang dari pengembang kawasan perumahan elite seperti PT Ciputra Indah yang menjadi pengembang Citra Indah mulai beralih konsep sejak isu BJA memudar. Areal permukiman di atas tanah seluas 1.200 ha itu kini tidak lagi digalakkan menjadi hunian mewah kelompok elite.

Menurut Ida Prastini, Marketing Manager Citra Indah, yang mungkin menjadi satu-satunya pengembang di kawasan Jonggol yang paling atraktif menyambut rencana BJA, sejak gagasan BJA memudar konsep yang ditawarkan Citra Indah juga berganti.

Kalau sebelumnya sasarannya adalah kelompok ekonomi menengah ke atas dengan jenis hunian yang mewah, kini ia berusaha merangkul para industriawan di sekitar hunian itu seperti di Cileungsi dan Citeureup untuk bekerja sama mengenai pengadaan rumah tinggal bagi para karyawan atau pekerja pabrik-dengan konsep rumah sederhananya.

"Kami sekarang menawarkan rumah dengan harga di bawah Rp 100 juta, ini untuk menyesuaikan keadaan," kata Sofyan, staf pemasaran Citra Indah.

Di atas lahan seluas 1.200 ha itu yang baru di bangun hanya 200 ha. Untuk rumah tinggal baru mencapai 2.000 unit. Itu pun yang terisi baru 50-60 persennya. Bandingkan dengan lokasi di Cibubur yang sejak tahun 1997 sudah berhasil menjual 90 persen dari total keseluruhan sebanyak 2.000 yang dibangun. Belum lagi permintaan rumah toko (ruko) yang masih terus meningkat.

MENURUT Ketua Program Kajian Agraria Kehutanan dan Perkebunan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Haiadi Kartodihardjo kawasan Sukamakmur (dulu bagian Jonggol) memperlihatkan beberapa segmen yang berpotensi longsor, erosi, dan permukaan air tanah dangkal.

Pantauan menunjukkan, longsoran bahan rombakan terjadi pada bagian lereng di sekitar jalan menuju Sukamakmur dari arah Citeureup. Sebagian kawasan konservasi itu kini dijadikan lahan perkebunan warga sebagai penggarap liar dan permukiman.

Secara fungsional, kawasan Jonggol, Sukamakmur, dan daerah sekitarnya mengalami penurunan daya resapan air 30-40 persen. Karena itu, di kawasan itu rawan terjadi longsor dan banjir di hilir akibat daya resapnya berkurang.

Meski kawasan itu tidak menjadi basis konservasi, namun dibandingkan kawasan Bogor lainnya, kawasan Jonggol, Sukamakmur dan sekitarnya mempunyai tingkatan konservasi yang cukup signifikan.

Berdasarkan data di Kecamatan Sukamakmur, desa yang rawan longsor adalah Kampung Pancuran Desa Sukamakmur, Kampung Nyalendung Desa Bojong, Kampung Honje Desa Pabuaran, Kampung Cigadel Desa Sukawangi, dan Kampung Luwibangke Desa Sukamulya.

Boleh jadi, batalnya pembangunan kota mandiri BJA membawa tiupan angin segar bagi para penduduk yang tinggal di kawasan hilir seperti daerah Bekasi. Pasalnya, calon pusat Ibu Kota Republik yang letaknya sekitar 50 km dari Jakarta itu berada di dua daerah aliran sungai yang sungai-sungainya mengalir ke utara meski tak melalui Jakarta.

DAS Kali Bekasi yang luasnya 1.451 km², sekitar 60 km di antaranya berada di kota mandiri BJA. Sedangkan 240 km² lainnya merupakan DAS Citarum, khususnya sub-DAS Cipamingkis dan Cibeet).

Batal terealisasinya BJA saja, daerah hilir seperti Bekasi mudah tergenang banjir. Hujan lebat satu hingga dua jam bisa membuat permukiman di Bekasi terendam. Bagaimana bila BJA jadi terealisasi?

Apa yang dikatakan Camat Jonggol Eman Sukirman mungkin ada benarnya: pembangunan kota mandiri BJA hanya hembusan angin surga. Kini angin surga itu berhenti berembus, maka berhenti pula para pengembang memperebutkan kawasan Jonggol, Sukamakmur, dan sekitarnya, yang akan dijadikan sebagai simbol kebesaran, kemegahan, dan kerakusan. (B10)


Sumber : Kompas, Edisi Senin, 02 Juni 2003

30 Ribu Hektare Hutan di Jonggol Rusak

TEMPO Interaktif, Bogor:Sampai saat ini telah terjadi perusakan dan penggundulan hutan di kawasan Bukit Jonggol seluas 30 ribu hektare. Akibatnya kawasan yang dulu terkenal subur dan hijau itu kini menjadi gersang, bahkan beberapa sungai yang berhulu di daerah tersebut saat ini sangat kesulitan air.

Lebih ironis lagi nasib 3.000 kepala keluarga yang dulu pernah bekerja sebagai buruh di PTP VIII Karet, kini tidak bekerja lagi. Hal tersebut terungkap ketika sebuah LSM Tree Foundation melakukan observasi lingkungan di kawasan bekas Kota Mandiri Jonggol yang gagal didirikan.

Darwin Saragih, Direktur LSM Tree Foundation mengungkapkan keadaan hutan seluas 30 ribu hektare tersebut merupakan korban dari kebijakan pemerintah saat itu, yakni mendirikan Kota Mandiri Jonggol melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997.

Keputusan Presiden ini mengatur koordinasi bukit Jonggol untuk dijadikan Kota Mandiri. Namun ketika pemerintahan Soeharto tumbang, rencana proyek raksasa itu ikut terbengkalai. Akibatnya, hutan yang sudah terlanjur dibabat dibiarkan begitu saja tanpa proses penghijauan kembali. Padahal hutan Jonggol merupakan hulu Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Cikarang, dan Sungai Ciomas.

"Dengan keluarnya Keppres tersebut kerusakan hutan di bukit Jonggol menjadi terstruktur, konversi hutan milik Perhutani, dan penjualan lahan eks perkebunan karet PTP VIII kepada pihak swasta,” jelas Darwin Saragih kepada Tempo News Room.

Menurut hasil observasi yang dilakukan Tree Foundation, lahan eks PTP VIII yang diterlantarkan oleh pengembangnya, PT Mega Prima, seluas 1984 hektare. Karena lahan milik PT Mega Prima termasuk lahan yang kena proyek raksasa ini.

Dengan tidak beroperasinya PTP VIII yang mengelola perkebunan karet, dengan sendirinya sebanyak 3.000 kepala keluarga bekas karyawannya kehilangan mata pencaharian.

Setelah lahan perkebunan karet dikuasai oleh perusahaan kroni Soeharto, melalui Keppres No 1 Tahun 1997, perkebunan karet yang hijau dan subur itu pun dibabat. Akibatnya kawasan tersebut menjadi gundul hingga saat ini. Akibat lainnya, bekas karyawan perkebunan berpotensi menjadi perambah hutan.

Fakta lainnya yang diungkapkan yakni pada lahan bekas perkebunan karet itu menunjukkan ketebalan solum tanah kurang dari 20 sentimeter, porositas total kurang dari 30 persen, derajat peluruhan air kurang dari 5 sentimeter per jam.

Fakta ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan pada permukaan tanah. Kondisi ini sangat jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah 150/2000, tentang pengaturan kerusakan tanah.

“Kawasan Jonggol jelas menjadi salah satu korban dari timbulnya Keppres No 1/1997. Untuk itulah kami menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Bogor segera mengambil penguasaan tanah di daerah tersebut,” tegas Darwin.

Pihaknya juga merekomendasikan kepada pemerintah agar lahan yang tertuang dalam Keppres 1 Tahun 1997 yang saat ini di bawah pengawasan BPPN segera disita oleh negara dan dijadikan hutan lindung kembali dengan pola hutan bersama yang nantinya dikelola oleh warga sekitar hutan tersebut. Konon harga kredit macet dalam proyek Kota Mandiri Jonggol senilai Rp 1,2 triliun.

“Sejarah pemilikan tanah tersebut milik negara, berbekal dengan Keppres dan peraturan lainnya kepemilikan serta fungsi hutan berubah, hal ini bertentangan dengan rasa keadilan. Untuk hal tersebut diharapkan agar partai politik, koalisi LSM mengangkat isu ini sebagai bentuk perjuangan pengembalian aset negara,” jelas Darwin.

Berdasarkan catatan FAO menyebutkan angka perusakan hutan Indonesia saat ini mencapai angka 1.312.000 hektare per tahun. Sedangkan saat ini luas hutan di Provinsi Jawa Barat hanya tinggal 816.603 hektare atau sekitar 22,3 persen dari luas Jawa Barat. Padahal idealnya 30 persen. Jika kondisi ini dibiarkan begitu saja maka akan berdampak buruk bagi manusia dan lingkungannya.

Hutan lindung di Jawa Barat hanya 291 hektare, hutan konservasi 132 hektare, hutan produksi terbatas 190 hektare, hutan produksi tetap 202 hektare, hutan yang rusak sekitar 400 hektare karena dijarah dan dirusak.

Sumber : Tempo Interaktif, Senin, 17 November 2003

Tuntut Pembangunan Jalur Alternatif Puncak II Warga Sukamakmur akan Temui Gubernur

Bogor, Pelita
Sejumlah perwakilan warga kecamatan sukamakmur, Kabupaten Bogor berencana akan mendatangi kantor Gubernur Jawa Barat, Dany Setiawan di Bandung.
Kedatangan para perwakilan yang umumnya para kepala desa itu bukan untuk mendemo orang nomor satu di Jawa Barat ini, melainkan untuk menyampaikan tuntutan warga terkait pembangunan jalur Alternatif puncak II Sukamakmur, yang hingga kini masih terkatung-katung.
Muhamad Anshori, Kepala desa Sukamakmur, dalam suatu acara di kecamatan Sukamakmur Senin kemarin mengungkapkan, pada intinya kepergian para perwakilan warga ke Bandung, Rabu (27/2) mendatang itu, mengajukan permohonan agar Gubernur Jawa Barat memperhatikan serta merealisasikan harapan dan keinginan warga dalam rangka meningkatkan derajad kesehatan, pendidikan, dan pendapatan ekonomi yang lebih baik.
IPM kecamatan Sukamakmur ini adalah yang terendah di Kabupaten Bogor yakni 59,11. Peningkatan nilai itu baru akan dapat dicapai jika ada sinergitas dan upaya yang keras seluruh elemen warga masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah baik pemerintah daerah maupun provinsi, ujarnya.
Lebih lanjut ia mengatakan, pembukaan dan pembangunan jalur alternatif puncak II Sukamakmur tersebut sangat mutlak diperlukan, karena diyakini apabila jalur tersebut dapat terealisir, maka akselerasi pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, dan perekonomian 74.000 warganya dapat cepat terwujud.
Rute jalur alternatif puncak II Sukamakmur itu mulai dari Hanjawar-Coloto-Kota Bunga-Desa Batu layang Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur-Arca-Catang Malang-Cikuray-Pasir Halang-Gunung Batu-Gunung Siem-Waru-Cikupa-Limusnunggal Kecamatan Sukamakmur- Jatinunggal-Jalur Transyogi Desa Jonggol, Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, jelasnya.
Hal senada dikatakan, Kepala Desa Pabuaran Kecamatan Sukamakmur, Ade Lukman Hartono, membuka akses jalan antara Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Cianjur ini untuk membuka keterisoliran wilayah kecamatan Sukamakmur dengan wilayah lainya.
Ini juga sebenarnya bukan semata-mata untuk kepentingan Sukamakmur, sebab jalur ini menghubungkan dua wilayah pemerintah daerah yakni Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur. Karena ini merupakan program lintas wilayah maka dari itu kami menyampaikan ini ke Gubernur Jawa barat untuk dicarikan solusinya, tandasnya.
Menurutnya, selama ini bantuan dari pemerintah daerah untuk pembangunan infrastruktur di wilayah ini, memang sudah ada, namun belum dapat memenuhi keinginan masyarakat, karena keterbatasan anggaran.
Pembukaan jalur alternatif puncak II Sukamakmur ini, tidak membutuhkan biaya pembebasan tanah, karena disamping melewati tanah perhutani, Tanah HGU Bukit Jonggol Asri dan warga secara sukarela mengibahkan tanah miliknya untuk kepentingan pembangunan jalur tersebut, urainya.
Pembangunan Jalur baru ini, kata ia akan mempermudah dan memperpendek jarak dari dan ke kawasan wisata puncak-kota Bunga Cipanas dengan Kawasan Kota Wisata Cibubur Jakarta dan Kawasan Lipo Cikarang Bekasi.
Dan jarak antara Transyogi ke Kota Bunga itu hanya sekitar 40 kilometer. Jalur ini juga akan menjadi alternatif untuk mengurangi beban kemacetan di kawasnh puncak, katanya. (don/ck-58)

Sumber : HU. Pelita, Edisi Jum'at, 30 Januari 2009

Duet Bambang dan Swie Teng di Jonggol

Bambang Trihatmodjo diisukan akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Jonggol. Dia akan menjadi tuan tanah terbesar di dunia.

Tidak ada proyek properti Bambang Trihatmodjo yang menonjol. Proyek superblock Grand Kuningan seluas 50 hektare sampai sekarang belum ada kemajuan yang berarti. Walaupun pemerintah sudah mengarahkan para duta besar negara asing agar memindahkan kedutaannya ke kawasan Grand Kuningan, instruksi itu belum dijalankan sepenuhnya. Proyek lainnya yang sedang digarap adalah tujuh apartemen di bekas Bandara Kemayoran, yang dinamakan Puri Kemayoran. Tapi, jalannya proyek itu masih tersendat-sendat. Begitu pula di sektor perumahan, yang dijalankan PT Bimantara Siti Wisesa, tidak sesukses proyek-proyek milik pengusaha besar lainnya.

Akan tetapi, di tengah ketidaksuksesannya menggarap proyek-proyek properti, Bambang justru menyiapkan langkah yang di luar dugaan orang. Bersama rekan bisnisnya, Swie Teng, Bambang diam-diam mengincar lahan seluas 30.000 hektare di kawasan Jonggol. Sebenarnya, pemilik saham terbesar proyek tersebut adalah Swie Teng. Karena, bersama adiknya, Haryadi Kumala, mereka menguasai 45 persen, sedangkan Bambang hanya 40 persen. Sisanya milik Aziz Muchtar (10 persen) dan Pemda Jawa Barat (lima persen).

Ketika rencana proyek Jonggol dilansir media massa, banyak orang berdecak kagum bercampur heran sekaligus mempertanyakan kemampuannya mengelola lahan yang luasnya setengah dari luas Jakarta itu. "Kalau ada yang sampai 30.000 hektare, apa mau selesai sampai 100 tahun. Pasarnya ke mana? Kalau tidak berjualan memangnya sanggup?" kata Presiden Direktur PT Sumber Mitra Realtindo, Yan Mogi, seperti yang dikutip Properfi Indonesia, Maret lalu. Pernyataan Yan Mogi, yang juga Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Jakarta itu memang realistis. Sebagai orang yang berpengalaman menangani proyek skala besar, dia pasti mengetahui liku-liku pembangunan berskala kota.

Suara yang sama dilontarkan Maryudi Sastrowihardjo, Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Dengan luas separo Jakarta, tentu sulit mengkoordinasikannya kalau tidak ada rencana yang matang," dia menegaskan kepada Imelda Bachtiar dari D&R. Lebih lanjut, Maryudi menyangsikan proyek Jonggol karena daerah itu merupakan salah satu resapan air untuk menghindari banjir di Jakarta.

Boleh saja Yan Mogi dan Maryudi meragukan kemampuan duet Bambang Trihatmodjo dan Swie Teng menangani proyek kota baru Bukit Jonggol Asri. Yang jelas, menurut informasi di DPD REI Jawa Barat, PT BJA telah membebaskan lebih dari 50 persen dari total lahan yang dialokasikan. Jika benar Bambang sudah membebaskan 15.000 hektare, berarti rencana proyek tersebut sudah direncanakan sejak lama. Atau, banyak tanah negara, seperti hutan lindung, yang statusnya dialihkan. Izin lokasi dari BPN pun sudah dikantungi melalui PT Fajar Loka Permata dan Kartika Pola Reksa, yaitu SK Izin BPN No. 460.2./78/L-PWR/ KPN/93. Ironisnya, ketika beberapa bulan lalu Soni Harsono dikonfirmasikan mengenai izin tersebut, ia mengaku tidak tahu-menahu.

Namun, terlepas dari kontroversi pembangunan kota baru di Jonggol itu, kalau terwujud, itu adalah prestasi tersendiri. Sampai sekarang belum ada di dunia ini swasta mampu membangun proyek properti dan lahan yasan (real estate) seluas 30.000 hektare. Jika BPN menyetujui alokasi lahan yang diinginkan PT BJA, pembebasan tanah telah dilakukan, Bambang Trihatmodjo akan menjadi Raja Properti Dunia, menggeser Donald Trumph (yang nyaris kolaps) dan mengalahkan Li Ka Sing (raja properti dari Hong Kong, yang proyeknya tersebar di mancanegara).

Lokasi proyek Jonggol terbentang dari Citeureup sampai Kabupaten Cianjur. Sekitar 24 desa di tiga kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur akan disulap menjadi kota metropolitan, lengkap dengan segala fasilitasnya. Tapi, Bambang tidak membangun seluruh lokasi yang diperolehnya. Lahan yang dikembangkan untuk proyek properti hanya 15.000 hektare atau hampir dua kali Kodya Bandung. Sisanya digunakan untuk wisata alam, hutan, dan lahan pertanian.

Kabarnya, harga tanah yang dibebaskan PT BJA hanya Rp 500; dan tidak tertutup kemungkinan nanti akan dijual ratusan atau ribuan kali lipat. Harga jual setinggi langit wajar saja. Karena, untuk mewujudkan kota baru itu diperlukan dana sedikitnya US$ 24 miliar atau setara Rp 56,4 triliun, sekarang. Jika nilai rupiah terhadap dolarAS terus melemah, nilai investasi itu bisa mencapai Rp 70 triliun. Itu merupakan jumlah investasi yang fantastis karena dilakukan oleh swasta.

Bambang Trihatmodjo bergeming dengan isu-isu yang beredar di masyarakat mengenai proyek Jonggol. Bahkan, dalam waktu dekat, dia akan mempresentasikan proyek tersebut ke Presiden Soeharto, yang tidak lain adalah bapaknya sendiri. "Dalam waktu dekat, kami akan memaparkan proyek kota terpadu itu ke Bapak Presiden," kata Bambang, seperti yang dinyatakan kepada Bisnis Indonesia.

Pernyataan Bambang kepada surat kabar ekonomi itulah yang menjadi pemicu kontroversi proyek Jonggol. Bambang menyebutkan sedang membuat desain kantor pemerintahan serta fasilitas olahraga dan rekreasi ke kawasan tersebut. Apa yang dikatakan putra Presiden Soeharto itu diperkuat Haryadi Kumala, adik Swie Teng yang juga ikut dalam megaproyek Jonggol. "Konsorsium kami telah menyediakan lahan sedikitnya 50 hektare untuk pusat pemerintahan,'' katanya.

Entah siapa yang memiliki wewenang memindahkan ibu kota Republik Indonesia atau pusat pemerintahan. Swasta atau pemerintah? Yang jelas, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ginandjar Kartasasmita menampik adanya rencana pemindahan ibu kota negara itu. "Tidak ada rencana pemindahan ibu kota. Saya kira itu belum terpikirkan," katanya kepada sebuah media Ibu Kota.

Sebenarnya, di kalangan pengembang, isu pembangunan kota baru Jonggol sudah tersebar sejak tahun lalu. Mereka mengaitkan instruksi Presiden Soeharto ke Pemda Jawa Barat agar tidak lagi memberikan izin untuk pembangunan vila dan bangunan lain di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). Rumor yang berkembang kemudian diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Soni Harsono, yang tidak lagi mengeluarkan izin untuk proyek lahan yasan di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Akan tetapi, Edwin Kawilarang, Ketua Umum DPP REI, yang juga memimpin divisi properti Grup Bimantara, buru-buru membantah bahwa penghentian pemberian izin lokasi oleh BPN karena untuk memuluskan proyek Jonggol. "Saya minta kepada wartawan jangan dikait-kaitkanlah. Tidak ada hubungan satu peraturan pemerintah dengan Jonggol," ujarnya ketika menerima wartawan D&R Gita Fiatri Lingga.

Masalah lain yang perlu dijelaskan adalah status hutan lindung seluas 4.500 hektare. Apakah konsorsium Kaestindo, perusahaan yang menangani proyek BJA, memberikan kompensasi ke pemerintah? Atau, Jonggol akan seperti program mobil nasional serta tata niaga cengkih, yang keduanya diberikan kepada Tommy: segala fasilitas akan diberikan agar proyek itu berjalan mulus tanpa rintangan ?

Konsep dan perencanaan kota baru Jonggol secara de facto sebenarnya sudah mendapat persetujuan dari pemerintah dan tinggal menunggu lampu hijau langsung dari Presiden Soeharto. Proyek itu memang akan dipresentasikan di hadapan kepala negara sebelum akhir tahun ini. Herman Haeruman, Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah, setelah menghadiri presentasi Grup Kaestindo mengenai proyek tersebut, menyatakan kepada Rebeka Harsono dari D&R bahwa rencana kota baru Jonggol sah-sah saja sebagaimana pembangunan proyek sejenis yang sudah ada sebelumnya. "Kalau memang bisa mandiri, mengapa tidak kita buat kota yang tidak perlu lagi bergantung pada Jakarta sebagai kota induk?" kata Herman.

Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, melihat rencana kota baru Jonggol adalah proyek yang belum jelas karena status dan surat keputusan lokasinya sampai sekarang belum keluar. "Proyek itu belum pantas dikomentari. Tapi, itu memang fenomena baru dalam pembangunan kota," kata Direktur Pusat Studi Properti Indonesia itu kepada Budi Nugroho dari D&R.

Ada pula yang menyebutkan Jonggol akan dijadikan proyek percontohan kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun. Karena, selama ini, pemerintah sulit mewujudkan bank tanah dengan alasan terbatasnya pembiayaan serta penguasaan tanah yang sebagian besar berada di tangan swasta. Namun, impian mewujudkan bank tanah atau kasiba justru terhambat di instansi pemerintah. Hingga sekarang, Kantor Sekreteriat Negara belum menjamah usul peraturan pemerintah mengenai kasiba. Padahal, tanah mempunyai dimensi politik yang sangat tinggi dan mudah menyulut kemarahan rakyat, karena merasa tidak puas dengan kebijakan selama ini yang cenderung berpihak pada pemilik modal.

Yang jelas, pembangunan perumahan, apalagi kota baru, harus mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Setiap rencana yang mikro, berdasarkan UU tersebut, harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang makro. Kenyataannya, sebagian besar daerah tingkat II belum memiliki RTRW yang disahkan DPRD. Seperti Bogor, yang melingkupi wilayah Jonggol, sampai sekarang RTRW-nya masih parsial. Belum lagi faktor pendanaan yang akan menyerap triliunan rupiah, masih membayangi para pengembang.

Tim D&R

*)D&R, 30 November 1996

Sumber : Tempo Interaktif, Edisi 40/01 - 30/Nov/1996