29 Januari 2009

30 Ribu Hektare Hutan di Jonggol Rusak

TEMPO Interaktif, Bogor:Sampai saat ini telah terjadi perusakan dan penggundulan hutan di kawasan Bukit Jonggol seluas 30 ribu hektare. Akibatnya kawasan yang dulu terkenal subur dan hijau itu kini menjadi gersang, bahkan beberapa sungai yang berhulu di daerah tersebut saat ini sangat kesulitan air.

Lebih ironis lagi nasib 3.000 kepala keluarga yang dulu pernah bekerja sebagai buruh di PTP VIII Karet, kini tidak bekerja lagi. Hal tersebut terungkap ketika sebuah LSM Tree Foundation melakukan observasi lingkungan di kawasan bekas Kota Mandiri Jonggol yang gagal didirikan.

Darwin Saragih, Direktur LSM Tree Foundation mengungkapkan keadaan hutan seluas 30 ribu hektare tersebut merupakan korban dari kebijakan pemerintah saat itu, yakni mendirikan Kota Mandiri Jonggol melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997.

Keputusan Presiden ini mengatur koordinasi bukit Jonggol untuk dijadikan Kota Mandiri. Namun ketika pemerintahan Soeharto tumbang, rencana proyek raksasa itu ikut terbengkalai. Akibatnya, hutan yang sudah terlanjur dibabat dibiarkan begitu saja tanpa proses penghijauan kembali. Padahal hutan Jonggol merupakan hulu Sungai Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Cikarang, dan Sungai Ciomas.

"Dengan keluarnya Keppres tersebut kerusakan hutan di bukit Jonggol menjadi terstruktur, konversi hutan milik Perhutani, dan penjualan lahan eks perkebunan karet PTP VIII kepada pihak swasta,” jelas Darwin Saragih kepada Tempo News Room.

Menurut hasil observasi yang dilakukan Tree Foundation, lahan eks PTP VIII yang diterlantarkan oleh pengembangnya, PT Mega Prima, seluas 1984 hektare. Karena lahan milik PT Mega Prima termasuk lahan yang kena proyek raksasa ini.

Dengan tidak beroperasinya PTP VIII yang mengelola perkebunan karet, dengan sendirinya sebanyak 3.000 kepala keluarga bekas karyawannya kehilangan mata pencaharian.

Setelah lahan perkebunan karet dikuasai oleh perusahaan kroni Soeharto, melalui Keppres No 1 Tahun 1997, perkebunan karet yang hijau dan subur itu pun dibabat. Akibatnya kawasan tersebut menjadi gundul hingga saat ini. Akibat lainnya, bekas karyawan perkebunan berpotensi menjadi perambah hutan.

Fakta lainnya yang diungkapkan yakni pada lahan bekas perkebunan karet itu menunjukkan ketebalan solum tanah kurang dari 20 sentimeter, porositas total kurang dari 30 persen, derajat peluruhan air kurang dari 5 sentimeter per jam.

Fakta ini mengindikasikan telah terjadi kerusakan pada permukaan tanah. Kondisi ini sangat jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah 150/2000, tentang pengaturan kerusakan tanah.

“Kawasan Jonggol jelas menjadi salah satu korban dari timbulnya Keppres No 1/1997. Untuk itulah kami menyarankan agar Pemerintah Kabupaten Bogor segera mengambil penguasaan tanah di daerah tersebut,” tegas Darwin.

Pihaknya juga merekomendasikan kepada pemerintah agar lahan yang tertuang dalam Keppres 1 Tahun 1997 yang saat ini di bawah pengawasan BPPN segera disita oleh negara dan dijadikan hutan lindung kembali dengan pola hutan bersama yang nantinya dikelola oleh warga sekitar hutan tersebut. Konon harga kredit macet dalam proyek Kota Mandiri Jonggol senilai Rp 1,2 triliun.

“Sejarah pemilikan tanah tersebut milik negara, berbekal dengan Keppres dan peraturan lainnya kepemilikan serta fungsi hutan berubah, hal ini bertentangan dengan rasa keadilan. Untuk hal tersebut diharapkan agar partai politik, koalisi LSM mengangkat isu ini sebagai bentuk perjuangan pengembalian aset negara,” jelas Darwin.

Berdasarkan catatan FAO menyebutkan angka perusakan hutan Indonesia saat ini mencapai angka 1.312.000 hektare per tahun. Sedangkan saat ini luas hutan di Provinsi Jawa Barat hanya tinggal 816.603 hektare atau sekitar 22,3 persen dari luas Jawa Barat. Padahal idealnya 30 persen. Jika kondisi ini dibiarkan begitu saja maka akan berdampak buruk bagi manusia dan lingkungannya.

Hutan lindung di Jawa Barat hanya 291 hektare, hutan konservasi 132 hektare, hutan produksi terbatas 190 hektare, hutan produksi tetap 202 hektare, hutan yang rusak sekitar 400 hektare karena dijarah dan dirusak.

Sumber : Tempo Interaktif, Senin, 17 November 2003

0 komentar:

Posting Komentar