29 Januari 2009

Jonggol, Pudarnya Bekas Calon Ibu Kota Republik

"ETA tah, Mas, di ditu. Sakitar lima kilometer ti Kantor Kecamatan, eta tanah na Kang Singgih (mantan Jaksa Agung). Sabeulah na eujeung Kompleks Marinir, sabeulah na deui Kompleks Kopasus," kata Eudin (35) warga RT 02 RW 02, Desa Sukamakmur, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, sambil tangannya menunjuk pada sebuah lahan membentang yang berbukit- bukit. (Itu di sana Mas, sekitar lima kilometer dari Kantor Kecamatan, tanahnya Pak Singgih. Adapun di sebelahnya tanah untuk Kompleks Marinir, di sebelahnya lagi untuk Kompleks Kopasus/Komando Pasukan Khusus TNI AD)

DARI kejauhan, tak begitu tampak batas-batas pengaplingan tanah di Kecamatan Sukamakmur (dulu bagian Kecamatan Jonggol yang direncanakan akan menjadi kota mandiri Bukit Jonggol Asri (BJA) dan calon Ibu Kota Republik Indonesia). Di perbukitan itu juga tak ada penanda layaknya areal yang hendak dibangun.

Siapa sangka, tanah perbukitan yang membentang dari barat hingga timur dan yang di sebelah selatan mencapai Desa Sukawangi sudah dikapling- kapling.

Pengaplingan kawasan itu mulai tahun 1995, sejak disetujuinya kawasan Jonggol untuk dijadikan kawasan permukiman mewah dan pemindahan kantor pemerintahan. Perubahan peruntukannya berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan No 1327/MenhutVII/1995.

Tak hanya di tempat itu, bukit gundul yang berjarak satu kilometer di depan Kantor Kecamatan Sukamakmur (sebelumnya bukit rimbun dengan pohonnya yang lebat) kini dikuasai pengembang BJA.

Eudin beruntung. Ia salah satu warga dari hanya ratusan warga desa Sukamakmur lainnya yang tak keburu menjual lahan pertanian dan perkebunannya kepada pengembang atau biong (makelar tanah).

Menurut Kepala Seksi Kependudukan Kecamatan Sukamakmur Edi Rahman diperkirakan sekitar 70 persen penduduk Kecamatan Sukamakmur, yang jumlahnya 64.712 jiwa terdiri atas sekitar 20.000 keluarga, telah menjual lahan mereka kepada pihak pengembang.

Dengan luas wilayah keseluruhan Kecamatan Sukamakmur 15.409 hektar (ha), paling tak diperkirakan sudah ada sekitar 10.100 ha tanah yang telah dibebaskan. Luas itu hampir sama dengan luas Kota Bogor yang telah mengalami perluasan, atau seperenam luas DKI.

Itu baru di Kecamatan Sukamakmur, belum yang di Kecamatan Jonggol, Cariu, Cileungsi, Citeureup, dan Kecamatan Cisarua. Diperkirakan tanah yang telah dibebaskan mencapai hampir 15.000 ha, separuh luas yang ditargetkan semula, yaitu 30.000 ha.

Sejak isu pembangunan kawasan kota mandiri BJA yang sekaligus Ibu Kota Republik memudar, para pengembang buru-buru angkat kaki dari situ. Mereka pergi begitu saja. Pohon-pohon di hutan lindung yang telah dibabat dibiarkan. Jalan-jalan dibiarkan rusak. Yang tersisa dari rencana besar itu hanya bukit-bukit gundul dan tanah-tanah yang dikapling, kini sebagian besar bukan lagi milik warga setempat.

Kawasan bekas calon Ibu Kota Republik yang didengung- dengungkan bisa menjadi magnet tandingan untuk mengurangi tekanan permukiman di Jakarta sekarang ini terlihat merana.

Makin merana lagi, setelah jalan yang menjadi jalur untuk akses ke Kecamatan itu dari tiga tempat: Jonggol, Cianjur, dan Citeureup, sudah tak layak lagi.

Dari kawasan Jonggol, misalnya, jalanan di dekat perbatasan Jonggol-Sukamakmur sepanjang lima kilometer rusak berat. Kondisi fisik jalan yang rusak dan berlubang hingga mencapai kedalaman 40 sentimeter. Belum lagi jembatannya sudah banyak yang rusak dan berlubang. Jangan harap mobil ukuran sedang, seperti sedan atau Kijang bisa leluasa melintas.

Dari arah Cianjur lebih parah lagi. Bila hujan turun, mobil praktis tak bisa melintas. Jalanan berbatu-batu besar yang tak jarang merusak ban. Jalan tembus sepanjang sekitar lima kilometer itu sepertinya sengaja dibiarkan untuk menjadikan Sukamakmur makin terisolasi.

Jalan akses masuk dari Citeureup meski sedikit lebih bagus, tetapi masih menyisakan perjuangan bagi pengemudinya. Dari Citeureup untuk mencapai calon Ibu Kota Republik yang batal itu membutuhkan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam.

Jalannya berbahaya dengan tanjakan yang curam dan berada di antara tebing dan jurang. Belum lagi pintu masuk dari Citeureup yang macetnya minta ampun. Bisa dibayangkan, dengan kondisi seperti sekarang ini, tanpa kehadiran BJA siapa yang mau melirik kawasan Jonggol dan Sukamakmur?

Bahkan, tak kurang dari pengembang kawasan perumahan elite seperti PT Ciputra Indah yang menjadi pengembang Citra Indah mulai beralih konsep sejak isu BJA memudar. Areal permukiman di atas tanah seluas 1.200 ha itu kini tidak lagi digalakkan menjadi hunian mewah kelompok elite.

Menurut Ida Prastini, Marketing Manager Citra Indah, yang mungkin menjadi satu-satunya pengembang di kawasan Jonggol yang paling atraktif menyambut rencana BJA, sejak gagasan BJA memudar konsep yang ditawarkan Citra Indah juga berganti.

Kalau sebelumnya sasarannya adalah kelompok ekonomi menengah ke atas dengan jenis hunian yang mewah, kini ia berusaha merangkul para industriawan di sekitar hunian itu seperti di Cileungsi dan Citeureup untuk bekerja sama mengenai pengadaan rumah tinggal bagi para karyawan atau pekerja pabrik-dengan konsep rumah sederhananya.

"Kami sekarang menawarkan rumah dengan harga di bawah Rp 100 juta, ini untuk menyesuaikan keadaan," kata Sofyan, staf pemasaran Citra Indah.

Di atas lahan seluas 1.200 ha itu yang baru di bangun hanya 200 ha. Untuk rumah tinggal baru mencapai 2.000 unit. Itu pun yang terisi baru 50-60 persennya. Bandingkan dengan lokasi di Cibubur yang sejak tahun 1997 sudah berhasil menjual 90 persen dari total keseluruhan sebanyak 2.000 yang dibangun. Belum lagi permintaan rumah toko (ruko) yang masih terus meningkat.

MENURUT Ketua Program Kajian Agraria Kehutanan dan Perkebunan Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Haiadi Kartodihardjo kawasan Sukamakmur (dulu bagian Jonggol) memperlihatkan beberapa segmen yang berpotensi longsor, erosi, dan permukaan air tanah dangkal.

Pantauan menunjukkan, longsoran bahan rombakan terjadi pada bagian lereng di sekitar jalan menuju Sukamakmur dari arah Citeureup. Sebagian kawasan konservasi itu kini dijadikan lahan perkebunan warga sebagai penggarap liar dan permukiman.

Secara fungsional, kawasan Jonggol, Sukamakmur, dan daerah sekitarnya mengalami penurunan daya resapan air 30-40 persen. Karena itu, di kawasan itu rawan terjadi longsor dan banjir di hilir akibat daya resapnya berkurang.

Meski kawasan itu tidak menjadi basis konservasi, namun dibandingkan kawasan Bogor lainnya, kawasan Jonggol, Sukamakmur dan sekitarnya mempunyai tingkatan konservasi yang cukup signifikan.

Berdasarkan data di Kecamatan Sukamakmur, desa yang rawan longsor adalah Kampung Pancuran Desa Sukamakmur, Kampung Nyalendung Desa Bojong, Kampung Honje Desa Pabuaran, Kampung Cigadel Desa Sukawangi, dan Kampung Luwibangke Desa Sukamulya.

Boleh jadi, batalnya pembangunan kota mandiri BJA membawa tiupan angin segar bagi para penduduk yang tinggal di kawasan hilir seperti daerah Bekasi. Pasalnya, calon pusat Ibu Kota Republik yang letaknya sekitar 50 km dari Jakarta itu berada di dua daerah aliran sungai yang sungai-sungainya mengalir ke utara meski tak melalui Jakarta.

DAS Kali Bekasi yang luasnya 1.451 km², sekitar 60 km di antaranya berada di kota mandiri BJA. Sedangkan 240 km² lainnya merupakan DAS Citarum, khususnya sub-DAS Cipamingkis dan Cibeet).

Batal terealisasinya BJA saja, daerah hilir seperti Bekasi mudah tergenang banjir. Hujan lebat satu hingga dua jam bisa membuat permukiman di Bekasi terendam. Bagaimana bila BJA jadi terealisasi?

Apa yang dikatakan Camat Jonggol Eman Sukirman mungkin ada benarnya: pembangunan kota mandiri BJA hanya hembusan angin surga. Kini angin surga itu berhenti berembus, maka berhenti pula para pengembang memperebutkan kawasan Jonggol, Sukamakmur, dan sekitarnya, yang akan dijadikan sebagai simbol kebesaran, kemegahan, dan kerakusan. (B10)


Sumber : Kompas, Edisi Senin, 02 Juni 2003

0 komentar:

Posting Komentar