29 Januari 2009

Duet Bambang dan Swie Teng di Jonggol

Bambang Trihatmodjo diisukan akan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Jonggol. Dia akan menjadi tuan tanah terbesar di dunia.


Tidak ada proyek properti Bambang Trihatmodjo yang menonjol. Proyek superblock Grand Kuningan seluas 50 hektare sampai sekarang belum ada kemajuan yang berarti. Walaupun pemerintah sudah mengarahkan para duta besar negara asing agar memindahkan kedutaannya ke kawasan Grand Kuningan, instruksi itu belum dijalankan sepenuhnya. Proyek lainnya yang sedang digarap adalah tujuh apartemen di bekas Bandara Kemayoran, yang dinamakan Puri Kemayoran. Tapi, jalannya proyek itu masih tersendat-sendat. Begitu pula di sektor perumahan, yang dijalankan PT Bimantara Siti Wisesa, tidak sesukses proyek-proyek milik pengusaha besar lainnya.

Akan tetapi, di tengah ketidaksuksesannya menggarap proyek-proyek properti, Bambang justru menyiapkan langkah yang di luar dugaan orang. Bersama rekan bisnisnya, Swie Teng, Bambang diam-diam mengincar lahan seluas 30.000 hektare di kawasan Jonggol. Sebenarnya, pemilik saham terbesar proyek tersebut adalah Swie Teng. Karena, bersama adiknya, Haryadi Kumala, mereka menguasai 45 persen, sedangkan Bambang hanya 40 persen. Sisanya milik Aziz Muchtar (10 persen) dan Pemda Jawa Barat (lima persen).

Ketika rencana proyek Jonggol dilansir media massa, banyak orang berdecak kagum bercampur heran sekaligus mempertanyakan kemampuannya mengelola lahan yang luasnya setengah dari luas Jakarta itu. "Kalau ada yang sampai 30.000 hektare, apa mau selesai sampai 100 tahun. Pasarnya ke mana? Kalau tidak berjualan memangnya sanggup?" kata Presiden Direktur PT Sumber Mitra Realtindo, Yan Mogi, seperti yang dikutip Properfi Indonesia, Maret lalu. Pernyataan Yan Mogi, yang juga Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Jakarta itu memang realistis. Sebagai orang yang berpengalaman menangani proyek skala besar, dia pasti mengetahui liku-liku pembangunan berskala kota.

Suara yang sama dilontarkan Maryudi Sastrowihardjo, Direktur Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Dengan luas separo Jakarta, tentu sulit mengkoordinasikannya kalau tidak ada rencana yang matang," dia menegaskan kepada Imelda Bachtiar dari D&R. Lebih lanjut, Maryudi menyangsikan proyek Jonggol karena daerah itu merupakan salah satu resapan air untuk menghindari banjir di Jakarta.

Boleh saja Yan Mogi dan Maryudi meragukan kemampuan duet Bambang Trihatmodjo dan Swie Teng menangani proyek kota baru Bukit Jonggol Asri. Yang jelas, menurut informasi di DPD REI Jawa Barat, PT BJA telah membebaskan lebih dari 50 persen dari total lahan yang dialokasikan. Jika benar Bambang sudah membebaskan 15.000 hektare, berarti rencana proyek tersebut sudah direncanakan sejak lama. Atau, banyak tanah negara, seperti hutan lindung, yang statusnya dialihkan. Izin lokasi dari BPN pun sudah dikantungi melalui PT Fajar Loka Permata dan Kartika Pola Reksa, yaitu SK Izin BPN No. 460.2./78/L-PWR/ KPN/93. Ironisnya, ketika beberapa bulan lalu Soni Harsono dikonfirmasikan mengenai izin tersebut, ia mengaku tidak tahu-menahu.

Namun, terlepas dari kontroversi pembangunan kota baru di Jonggol itu, kalau terwujud, itu adalah prestasi tersendiri. Sampai sekarang belum ada di dunia ini swasta mampu membangun proyek properti dan lahan yasan (real estate) seluas 30.000 hektare. Jika BPN menyetujui alokasi lahan yang diinginkan PT BJA, pembebasan tanah telah dilakukan, Bambang Trihatmodjo akan menjadi Raja Properti Dunia, menggeser Donald Trumph (yang nyaris kolaps) dan mengalahkan Li Ka Sing (raja properti dari Hong Kong, yang proyeknya tersebar di mancanegara).

Lokasi proyek Jonggol terbentang dari Citeureup sampai Kabupaten Cianjur. Sekitar 24 desa di tiga kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur akan disulap menjadi kota metropolitan, lengkap dengan segala fasilitasnya. Tapi, Bambang tidak membangun seluruh lokasi yang diperolehnya. Lahan yang dikembangkan untuk proyek properti hanya 15.000 hektare atau hampir dua kali Kodya Bandung. Sisanya digunakan untuk wisata alam, hutan, dan lahan pertanian.

Kabarnya, harga tanah yang dibebaskan PT BJA hanya Rp 500; dan tidak tertutup kemungkinan nanti akan dijual ratusan atau ribuan kali lipat. Harga jual setinggi langit wajar saja. Karena, untuk mewujudkan kota baru itu diperlukan dana sedikitnya US$ 24 miliar atau setara Rp 56,4 triliun, sekarang. Jika nilai rupiah terhadap dolarAS terus melemah, nilai investasi itu bisa mencapai Rp 70 triliun. Itu merupakan jumlah investasi yang fantastis karena dilakukan oleh swasta.

Bambang Trihatmodjo bergeming dengan isu-isu yang beredar di masyarakat mengenai proyek Jonggol. Bahkan, dalam waktu dekat, dia akan mempresentasikan proyek tersebut ke Presiden Soeharto, yang tidak lain adalah bapaknya sendiri. "Dalam waktu dekat, kami akan memaparkan proyek kota terpadu itu ke Bapak Presiden," kata Bambang, seperti yang dinyatakan kepada Bisnis Indonesia.

Pernyataan Bambang kepada surat kabar ekonomi itulah yang menjadi pemicu kontroversi proyek Jonggol. Bambang menyebutkan sedang membuat desain kantor pemerintahan serta fasilitas olahraga dan rekreasi ke kawasan tersebut. Apa yang dikatakan putra Presiden Soeharto itu diperkuat Haryadi Kumala, adik Swie Teng yang juga ikut dalam megaproyek Jonggol. "Konsorsium kami telah menyediakan lahan sedikitnya 50 hektare untuk pusat pemerintahan,'' katanya.

Entah siapa yang memiliki wewenang memindahkan ibu kota Republik Indonesia atau pusat pemerintahan. Swasta atau pemerintah? Yang jelas, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ginandjar Kartasasmita menampik adanya rencana pemindahan ibu kota negara itu. "Tidak ada rencana pemindahan ibu kota. Saya kira itu belum terpikirkan," katanya kepada sebuah media Ibu Kota.

Sebenarnya, di kalangan pengembang, isu pembangunan kota baru Jonggol sudah tersebar sejak tahun lalu. Mereka mengaitkan instruksi Presiden Soeharto ke Pemda Jawa Barat agar tidak lagi memberikan izin untuk pembangunan vila dan bangunan lain di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). Rumor yang berkembang kemudian diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Soni Harsono, yang tidak lagi mengeluarkan izin untuk proyek lahan yasan di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Akan tetapi, Edwin Kawilarang, Ketua Umum DPP REI, yang juga memimpin divisi properti Grup Bimantara, buru-buru membantah bahwa penghentian pemberian izin lokasi oleh BPN karena untuk memuluskan proyek Jonggol. "Saya minta kepada wartawan jangan dikait-kaitkanlah. Tidak ada hubungan satu peraturan pemerintah dengan Jonggol," ujarnya ketika menerima wartawan D&R Gita Fiatri Lingga.

Masalah lain yang perlu dijelaskan adalah status hutan lindung seluas 4.500 hektare. Apakah konsorsium Kaestindo, perusahaan yang menangani proyek BJA, memberikan kompensasi ke pemerintah? Atau, Jonggol akan seperti program mobil nasional serta tata niaga cengkih, yang keduanya diberikan kepada Tommy: segala fasilitas akan diberikan agar proyek itu berjalan mulus tanpa rintangan ?

Konsep dan perencanaan kota baru Jonggol secara de facto sebenarnya sudah mendapat persetujuan dari pemerintah dan tinggal menunggu lampu hijau langsung dari Presiden Soeharto. Proyek itu memang akan dipresentasikan di hadapan kepala negara sebelum akhir tahun ini. Herman Haeruman, Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah, setelah menghadiri presentasi Grup Kaestindo mengenai proyek tersebut, menyatakan kepada Rebeka Harsono dari D&R bahwa rencana kota baru Jonggol sah-sah saja sebagaimana pembangunan proyek sejenis yang sudah ada sebelumnya. "Kalau memang bisa mandiri, mengapa tidak kita buat kota yang tidak perlu lagi bergantung pada Jakarta sebagai kota induk?" kata Herman.

Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, melihat rencana kota baru Jonggol adalah proyek yang belum jelas karena status dan surat keputusan lokasinya sampai sekarang belum keluar. "Proyek itu belum pantas dikomentari. Tapi, itu memang fenomena baru dalam pembangunan kota," kata Direktur Pusat Studi Properti Indonesia itu kepada Budi Nugroho dari D&R.

Ada pula yang menyebutkan Jonggol akan dijadikan proyek percontohan kawasan siap bangun (kasiba) dan lingkungan siap bangun. Karena, selama ini, pemerintah sulit mewujudkan bank tanah dengan alasan terbatasnya pembiayaan serta penguasaan tanah yang sebagian besar berada di tangan swasta. Namun, impian mewujudkan bank tanah atau kasiba justru terhambat di instansi pemerintah. Hingga sekarang, Kantor Sekreteriat Negara belum menjamah usul peraturan pemerintah mengenai kasiba. Padahal, tanah mempunyai dimensi politik yang sangat tinggi dan mudah menyulut kemarahan rakyat, karena merasa tidak puas dengan kebijakan selama ini yang cenderung berpihak pada pemilik modal.

Yang jelas, pembangunan perumahan, apalagi kota baru, harus mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Setiap rencana yang mikro, berdasarkan UU tersebut, harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang makro. Kenyataannya, sebagian besar daerah tingkat II belum memiliki RTRW yang disahkan DPRD. Seperti Bogor, yang melingkupi wilayah Jonggol, sampai sekarang RTRW-nya masih parsial. Belum lagi faktor pendanaan yang akan menyerap triliunan rupiah, masih membayangi para pengembang.

Tim D&R

*)D&R, 30 November 1996

Sumber : Tempo Interaktif, Edisi 40/01 - 30/Nov/1996

0 komentar:

Posting Komentar