29 Januari 2009

Jonggol, Proyek Satu Abad

Jakarta penuh sesak. Penduduknya berjumlah sekitar 10 juta jiwa. Belum lagi jumlah kendaraan yang mencapai hampir dua juta unit. Pembangunan gedung jangkung terus bertambah, sementara persediaan tanah semakin kritis dan harganya melambung tinggi, nyaris tidak terjangkau oleh pengembang properti dan lahan yasan (real estate).

Alternatifnya, pembangunan permukiman dan kawasan bisnis diarahkan ke pinggiran atau yang dikenal dengan sub-urban. Salah satu pengembang yang mengantisipasi pembangunan sub-urban atau kota baru adalah PT Bukit Jonggol Asri (BJA). Sebagian besar saham perusahaan itu milik Bambang Trihatmodjo, putra Presiden Soeharto.

Rencana PT BJA untuk membangun sebuah kota batu tidak tanggung-tanggung. Perusahaan itu mengalokasikan lahan sedikitnya 30.000 hektare, yang terbentang dari Citereup sampai Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sekitar 24 desa di tiga kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur akan disulap menjadi kota metropolitan lengkap dengan segala fasilitasnya. Untuk mewujudkan kota baru itu diperlukan dana sedikitnya US$ 24 miliar atau setara Rp 56,4 triliun sekarang. Jika nilai rupiah terhadap dolar AS terus melemah, nilai investasi itu bisa mencapai Rp 70 triliun. Itu merupakan jumlah investasi yang fantastis, karena dilakukan oleh swasta.

Belum lagi jangka waktu pembangunan yang mungkin baru selesai seluruhnya dalam 50 tahun atau 10 Pelita. Jakarta, misalnya, dengan luas 65.000 hektare, setelah 51 tahun Indonesia merdeka, pembangunannya masih belum selesai. Pengadaan perumahan yang layak baru gencar dilakukan pada tahun 1972. Kawasan komersial, seperti perkantoran dan pusat perbelanjaan, mulai ramai baru dalam dasawarsa l990-an. Jakarta, sebagai ibu kota negara, penanganan dan pembiayaannya memang dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Itulah sebabnya rencana pembangunan kota baru BJA sekarang ini menjadi pembicaraan di mana-mana. Apalagi, santer isu ibu kota negara akan pindah dari Jakarta ke Jonggol . Pro dan kontra bermunculan. Tapi, terlepas benar atau tidaknya rencana memindahkan ibu kota itu, pembangunan kota baru di Jonggol, kalau terwujud, adalah prestasi tersendiri . Sampai sekarang belum ada di dunia ini swasta mampu membangun proyek properti dan lahan yasan seluas 30.000 hektare. Jika Badan Pertanahan Nasional menyetujui alokasi lahan yang diinginkan PT BJA, pembebasan tanah telah dilakukan, Bambang Trihatmodjo akan menjadi raja properti dunia, menggeser Donald Trumph (yang nyaris kolaps) dan mengalahkan Li Ka Sing (raja properti dari Hong Kong yang proyeknya tersebar di mancanegara). Sebenarnya, dalam PT BJA, Bambang tidak sendiri. Dia menggandeng Swie Teng alias Haryadi Kumala, spekulan tanah yang sangat terkenal di kalangan pengembang dan pemilik Grup Kaestindo.

Direksi PT BJA maupun Grup Kaestindo ketika diminta konfirmasinya memilih tutup mulut. Tidak ada seorang pun yang mau berkomentar. Susi, sekretaris Swie Teng yang berkantordi Lantai XXV Menara Sudirman, tidak menjelaskan keberadaan bosnya, malah menunjuk seorang pria berbadan tegap berpakaian safari dengan kumis tebal.

Di kalangan pengembang, isu pembangunan kota baru Jonggol sudah tersebar sejak tahun lalu. Mereka mengaitkan instruksi Presiden Soeharto kepada Pemda Jawa Barat agar tidak lagi memberikan izin untuk pembangunan vila dan bangunan lain di kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur (Bopunjur). Rumor yang berkembang kemudian diperkuat dengan pernyataan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN, Soni Harsono, yang tidak lagi mengeluarkan izin untuk proyek lahan yasan di kawasan Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek). Ketika D&R meminta pendapat beberapa pengembang mengenai rencana PT BJA dan pernyataan pejabat pemerintah, mereka enggan memberikan komentar secara langsung, apalagi jika namanya disebut sebagai narasumber. "Kami tidak ingin mengusik dapur orang lain agar dapur kami dapat ngebul terus," kata pengembang lain yang memiliki proyek tidak jauh dari lokasi kota baru Jonggol.

Namun, Johannes Tulung dari PT Kuripan Raya melihat proyek itu belum bisa dianggap ancaman, karena rencananya masih di atas kertas. Menurut dia, antara rencana dan implementasi memerlukan waktu cukup lama. "Waktu 10 tahun belum cukup untuk melihat keberhasilan pembangunan sebuah kota baru. Masih banyak peluang yang bisa kami raih," kata Tulung, yang kini menangani proyek Telaga Kahuripan di daerah Parung, Jawa Barat, yang salah seorang pemiliknya adalah Grup Bimantara.

Konsep dan perencanaan kota baru Jonggol secara de facto sebenarnya sudah mendapat persetujuan dari pemerintah dan tinggal menunggu lampu hijau langsung dari Presiden Soeharto. Proyek itu memang akan dipresentasikan di hadapan kepala negara sebelum akhir tahun ini. Herman Haeruman, Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Daerah, setelah menghadiri presentasi Grup Kaestindo mengenai proyek tersebut, menyatakan kepada Rebeka Harsono dari D&R bahwa rencana kota baru Jonggol sah-sah saja sebagaimana pembangunan proyek sejenis yang sudah ada sebelumnya. "Kalau memang bisa mandiri, mengapa tidak kita buat kota yang tidak perlu lagi bergantung pada Jakarta sebagai kota induk?" kata Herman.

Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, melihat rencana kota baru Jonggol adalah proyek yang belum jelas karena status dan surat keputusan (SK) lokasinya sampai sekarang belum keluar. "Proyek ini belum pantas dikomentari. Tapi memang fenomena baru dalam pembangunan kota," kata Direktur Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) itu kepada Budi Nugroho dari D&R.

Akan tetapi benarkah pembangunan Jonggol merupakan fenomena baru dalam pembangun kota seperti yang dinyatakan Panangian? Sebenarnya, pembangunan kota baru sudah banyak dilakukan di Indonesia, terutama yang dilakukan oleh pemerintah. Di Jakarta misalnya Thomas Karsten sudah merencanakan kota baru Kebayoran Baru pada tahun 1948 dan mulai digarap tiga tahun kemudian.

Akan halnya pembangunan kota baru yang diarahkan untuk mandiri pertama kali dilakukan swasta pada tahun 1989, yaitu proyek Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (BSD). Pemiliknya adalah konsorsium 10 perusahaan milik empat taipan besar (Liem Sioe Liong, Eka Tjipta Widjaja, Ciputra, dan Sudwikatmono). Konsorsium itu rencananya akan membangun sebuah kota seluas 6.000 hektare atau tiga kali luas Kodya Bogor.

Setelah pembangunan Kota Mandiri BSD, di Jabotabek bermunculan proyek sejenis, seperti Cikarang Baru (5.400 hektare), Lippo Cikarang (5.000 hektare), Kota Tigaraksa (3.000 hektare), Bintaro Jaya (2.300 hektare), Citra Raya Kota Seni (2.500 hektare), Bukit Sentul (2.000 hektare), Kota Legenda (2.000 hektare), Lido Lake Resort (1.700 hektare), Gading Serpong ( 1.700 hektare), Puri Jaya ( 1.600 hektare), dan Citra Indah ( 1.200 hektare). Masih ada dua proyek besar lagi yang izinnya sudah diberikan, yaitu Kapuk Naga (8.000 hektare) dan Pantura Jakarta (2.700 hektare).

Membangun kota baru memang tidak semudah menggarap proyek properti lainnya. Beberapa aspek sangat menentukan, seperti perencanaan, konsep, pendanaan, dan pemasaran. Yang dikatakan Johannes Tullung bisa jadi benar: para pengembang tidak mungkin terancam dalam waktu 10 tahun karena kehadiran Jonggol. Sebagai contoh, BSD sebagai proyek kota mandiri pertama di tanah air telah disiapkan sejak tahun 1983, pembangunannya baru dimulai Januari 1989. Dalam waktu enam tahun, pengembang proyek tersebut harus menyiapkan seluruh aspek tadi secara mendalam dan mengkoordinasikannya dengan instansi pemerintah yang terkait.

Dalam perencanaannya, proyek BSD baru rampung keseluruhan dalam waktu 25 tahun. Menurut Dirut PT BSD, Budiarsa Sastrawinata, proyek yang diperkirakan menelan investasi untuk infrastruktur sekitar Rp 5 triliun itu diharapkan rampung pada tahun 2015. Pembangunan proyek tersebut, lanjutnya, menerapkan perkembangan wajar dan alamiah dengan mengutamakan pertumbuhan penduduk. "Dari segi fasilitas memang agak lambat; sedangkan tingkat pertumbuhan penduduknya mencapai 15 persen per tahun."

Memang, baru setelah pertumbuhan penduduk meningkat, investor melirik kota mandiri itu untuk dijadikan basis investasi. Baru-baru ini, delegasi dagang dari Jerman yang dipimpin langsung oleh Kanselir Helmut Kohl langsung menandatangani kesepakatan untuk membangun Pusat Jerman di BSD yang terdiri kawasan industri, sekolah, pusat penelitian, serta lembaga ekonomi. Investasinya sekitar Rp 4,5 triliun.

Soalnya, penduduk dengan berbagai strata sosial dan ekonomi adalah motor utama untuk mewujudkan kemandiriannya. Tanpa penduduk, bagaimana mungkin membangun gedung perkantoran, kawasan industri, atau pusat perbelanjaan skala besar? Siapa yang akan membeli? Darimana memperoleh pekerja? Untuk mewujudkan sebuah kota yang mandiri, kata Johannes Tullung yang juga salah seorang pengurus Dewan Pimpinan Pusat Realestat Indonesia (REI), Jonggol nantinya harus memiliki basis ekonomi yang kuat. Di wilayah itu, setidaknya harus digabungkan kantor pemerintah, kawasan bisnis dan industri.

Yang jelas, pembangunan perumahan, apalagi kota baru, harus mengacu pada Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 mengenai Penataan Ruang. Setiap rencana yang mikro, berdasarkan UU tersebut, harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang makro. Kenyataannya, sebagian besar daerah tingkat II belum memiliki RTRW yang disahkan oleh DPRD. Seperti Bogor, yang melingkupi wilayah Jonggol, sampai sekarang RTRW-nya masih parsial. Belum lagi faktor pendanaan yang akan menyerap tliliunan rupiah masih membayangi para pengembang. Sikap hati-hati memang banyak dilakukan pengembang besar agar proyeknya dapat berjalan sesuai rencana tanpa mengganggu likuiditas keuangan perusahaan maupun grupnya. Gencarnya pembangunan fasilitas yang "wah" dan sebenarnya belum perlu di Lippo Karawaci menjadi pelajaran berharga. Bukan tidak mungkin, baru 100 tahun lagi kota baru Bukit Jonggol Asri bisa berdiri utuh -- itu pun kalau jadi.

Sumber :Tempo Interaktif, Edisi 39/01 -21/Nov/1996

0 komentar:

Posting Komentar