29 Januari 2009

Mencari Tempat Rakyat di Zaman Megaproyek

Pengantar:Litbang Redaksi Republika mengadakan jajak pendapat menyigi
pandangan warga Jakarta tentang megaproyek kota mandiri Jonggol. Lewat
sigi ini warga Jakarta meminta pemerintah dan pengembang
mempertimbangkan ekses lingkungan dan sosial megaproyek itu. Tulisan
berikut merefleksikan temuan sigi ke dalam konteks yang lebih besar

.

Jonggol adalah sebuah kota kecamatan yang tidak terlalu dikenal.
Terletak di ruas jalan Cibubur-Cianjur, Jonggol berudara cukup sejuk
dengan lingkungan yang rindang. Tanahnya yang merah menandai suburnya
wilayah perbukitan ini.

Sejuk, rindang, tanah merah, subur, dan perbukitan, adalah "identitas"
yang gampang ditemui di banyak tempat di republik yang pernah disebut
Koes Plus sebagai "tanah surga" ini. Karena itu, identitas Jonggol
memang tak khas amat. Jonggol pun tak terlalu dikenal.

Tapi itu cerita lama. Semenjak akhir 1996 lalu, Jonggol mendadak
sontak jadi primadona media massa. Jonggol jadi terkenal. Wajar saja
bila nyaris semua responden jajak pendapat Republika tahu Jonggol.
Sekitar 45 persen atau 133 dari 300 responden bahkan mengaku tahu di
mana letak Jonggol.

Adalah megaproyek Kota Mandiri Bukit Jonggol Indah (BJI) yang
"berjasa" mempopulerkan Jonggol. Megaproyek yang rencananya akan
digarap konsorsium Bambang Trihatmodjo dan Haryadi Kumala (Grup
Kaestindo) -- di bawah bendera PT Bukit Jonggol Asri (BJA) -- ini akan
melahap lahan seluas 30 ribu hektar: Lima kali Bumi Serpong Damai atau
60 kali kawasan elite Pondok Indah. Megaproyek ini membentang
sepanjang 36 km di sisi jalan Cibubur-Cianjur, konon bakal beres
dikembangkan dalam 25 tahun, dan bakal melahap dana raksasa: 100
triliun rupiah!

Megaproyek itu pun menambah deretan proyek kota mandiri yang sudah
menggejala sejak 12 tahun lampau. Bagaimana sebetulnya sikap
masyarakat terhadap megaproyek ini? Jajak pendapat Republika memberi
jawabannya: Kecemasan.

Umumnya responden mencemaskan dampak megaproyek Jonggol terhadap
keseimbangan ekologi (lingkungan) dan sosial. Jonggol sebagai daerah
resapan air akan rusak; rakyat kecil bakal tersingkir; Jonggol bakal
jadi kota besar yang memanjakan kalangan berpunya sekaligus tak lagi
ramah terhadap orang kebanyakan; itulah suara-suara kecemasan yang
terekam.

Terhadap sejumlah kecemasan itu sebetulnya telah tersedia sedikit
jawaban. Pemerintah Jawa Barat dan pihak pengembang (PT BJA) telah
menjelaskan bahwa lahan seluas 30 ribu hektar tak akan dihabiskan
untuk pengembangan kota dan pemukiman. Setengah dari luas lahan itu,
menurut mereka, akan dialokasikan untuk kawasan non-perkotaan,
pemeliharaan, dan konservasi. (Lihat Tabel).

Namun, kecemasan itu boleh jadi tak bakal redup dengan sedikit jawaban
di atas. Sebab, kecemasan itu tampaknya merefleksikan sesuatu yang
lebih besar: Kecemasan rakyat akan datangnya "zaman megaproyek".

Dengan catatan rekor yang dimilikinya, proyek Jonggol merupakan satu
(lagi) proyek berskala raksasa. Ini memang menandai makin tegasnya
kedatangan "zaman megaproyek" ke tengah kita: pembangunan kawasan
industri, reklamasi pantai, pembangunan pabrik kimia, penambangan
emas, pembangunan jalan tol lingkar kota dan subway, dan seterusnya.

Tampaknya ada kecemasan bahwa pelbagai megaproyek yang sudah, sedang
atau akan digarap itu tak saja melahap dana dan lahan besar, namun
juga memangsa kepentingan rakyat kecil. Lahan yang luas, misalnya,
dicemaskan bakal makin berfungsi bisnis-komersial sambil
menenggelamkan fungsi sosialnya.

Maka sangat tepat dan beralasan, ketika menyetujui pembangunan
megaproyek Jonggol, Presiden Soeharto menyelipkan sebuah pesan
penting. "Jangan menyingkirkan dan membuat lebih melarat penduduk
setempat," kata Presiden.

Pesan Presiden tak saja penting secara tekstual (apa yang tertulis)
namun juga kontekstual (konteks yang dicakup pesan itu). Pesan itu
sebangun dengan pesan sejenis dari Gubernur Jawa Barat ("Penduduk
setempat jangan dipindahkan dan harus memperoleh pekerjaan di kawasan
itu") serta harapan Gubernur DKI Jakarta ("Perhatikan soal ekses
lingkungan proyek itu").

Pada tingkat permukaan, pesan itu seolah gampang dijalankan, tapi
pengalaman pembangunan selama ini menunjukkan sebaliknya. Sebuah
megaproyek boleh jadi memang sanggup menyerap angkatan kerja, tapi
belum tentu peduli pada soal gegar sosial-budaya yang diderita
masyarakat sekelilingnya lantaran perubahan dramatis dari lingkungan
agraris-desa ke lingkungan modern-kota. Kasus pengembangan kawasan
industri di Botabek bisa bercerita banyak soal ketidakpedulian ini.

Pendeknya, megaproyek boleh saja mengepung kita namun mesti dibarengi
dengan tegasnya pengaruh positif ekonomi, sosial, budaya, dan politik
proyek itu bagi rakyat banyak. Hasil jajak pendapat Republika, dalam
batas tertentu, merefleksikan tuntutan tersebut.

Dalam konteks itu, menyangkut kasus Jonggol, skeptisime
(keragu-raguan) kita yang cenderung ke soal teknis, misalnya, mesti
diluruskan ke soal yang lebih mendasar. Sejauh ini yang lebih kerap
muncul memang keragu-raguan tentang "mana mungkin dalam 25 tahun
megaproyek Jonggol bisa selesai sementara BSD dalam 12 tahun belum
apa-apa dan kawasan Pondok Indah baru rampung dalam 35 tahun". Atau
"dari mana dana 100 triliun rupiah bisa digaruk oleh PT BJA".

Alih-alih memusatkan diri pada skeptisisme di seputar soal teknis
macam itu, lebih produktif mengajukan skeptisisme lebih mendasar:
Sanggupkah megaproyek itu memadukan aspek bisnis-komersial yang sudah
tercium kuat sejak awal dengan kepentingan sosial rakyat banyak?

Ya. Megaproyek Jonggol yang sudah memperoleh dukungan penuh dari
pemerintah pusat dan daerah itu mudah-mudahan bisa jadi contoh betapa
rakyat masih punya tempat yang layak di tengah zaman megaproyek.

Sumber : Republika Online Edisi Senin, 24 Pebruari 1997, disadur dari sini

0 komentar:

Posting Komentar