18 April 2012

Cibuyutan Tertinggal hingga Buyut Piut

( Photo : Media Indonesia )
 "CAN pernah (belum pernah). Ma enya bupati arek leumpang ka dieu (Masa iya bupati mau jalan kaki ke sini)," tutur Enih, 40, polos. Ia sama sekali tak bermaksud menyindir pejabat kabupaten maupun DPRD yang melupakan daerah tertinggal seperti Kampung Cibuyutan, Desa Sukarasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor.

Cibuyutan berada di antara lereng Gunung Sungging dan Gunung Langgar. Lokasinya paling ujung timur Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Cianjur. Ada 100 lebih keluarga atau sekitar 500 jiwa tinggal di kampung tersebut.

Warga tak mengenal program keluarga berencana. Setiap keluarga umumnya punya anak lebih dari tiga. Ada yang punya enam anak bahkan lebih. Umumnya anak-anak perempuan yang telah berusia 13 tahun atau selepas lulus SD akan dinikahkan.

Kampung Cibuyutan memang seperti terlupakan. Lokasinya terisolasi dan sama sekali tidak ada upaya membuat akses transportasi ke sana meski Kabupaten Bogor merupakan penerima APBD terbesar di Provinsi Jawa Barat.

Jalan menuju lokasi itu penuh dengan perusahaan besar dan pertambangan raksasa, baik dari arah Cibinong sebagai ibu kota kabupaten maupun dari ibu kota negara, Jakarta. Jarak dari Jakarta ke lokasi hanya sekitar 80 km.

Untuk mendatangi Kampung Cibuyutan, bukan saja menguras energi, harus pula siap jatuh, rela kotor, bahkan terluka. Terutama bagi yang nekat membawa kendaraan roda dua. Rasanya ingin menangis. Meski panjang jalan hanya sekitar 10 km dari Cibinong, treknya sangat sulit.

Jalan agak menanjak dan setapak, licin, kiri kanan sawah, semak belukar tebal, melewati tanaman nanas liar serta hutan pepohonan yang menjulang.

Pengendara sepeda motor harus ekstra hati-hati, terutama saat melintasi beberapa kayu dan bambu yang dihamparkan sebagai jembatan melintasi sungai dan kali-kali kecil Cisero. Jembatan itu umumnya sudah miring. Ular pun sering terlihat melintas.

Sejauh mata memandang, sejak keluar dari jalan desa dan masuk ke perkampungan, yang terlihat puluhan kandang kerbau. Setelah berjalan kurang lebih 2 km, baru ditemukan satu rumah. Bentuk dan kondisi rumah tak berbeda dengan kandang kerbau di sampingnya.

"Ini rumah Pak Engkus. Dia tinggal di sini bersama istrinya. Sekarang sedang pergi ke sawah," tutur seorang pemuda. Jarak antara rumah Engkus dan pusat kampung masih sekitar 3 km lagi. Hampir seluruh rumah berbentuk panggung, dengan bahan baku kayu dan bambu.

Ada yang memakai genting, tapi lebih dominan beratapkan anyaman daun kirai (enau) yang dalam bahasa Sunda disebut hateup.

Dari sekitar 80 bangunan rumah, hanya tiga menggunakan bahan semen atau ditembok. Itu pun bagian bawah saja dengan ketinggian kurang lebih 0,5-1 meter dari tanah.

Masyarakat setempat mengaku tidak mampu membangun dengan bahan modern seperti semen, besi, batu bata, pasir, serta batu kecil. Akses jalan untuk membawa benda itu pun tidak ada. Untuk membawa satu sak semen, ojek memasang tarif Rp13 ribu dengan lama perjalanan sekitar 2 jam.

Padahal, pendapatan warga rata-rata hanya Rp7.000 -Rp10 ribu per hari dengan membelah batu.

Gelap gulita

Sudah 66 tahun Indonesia merdeka dan jarak dari Bogor ke lokasi hanya belasan kilometer, namun sampai sekarang Kampung Cibuyutan masih gelap gulita pada malam hari. Tidak ada aliran listrik.

Sebagai penerangan, warga menggunakan lampu teplok. Biasanya setiap bangun pagi, lubang hidung penghuni berubah hitam oleh jelaga. Memang ada beberapa rumah--yang membuka warung kecil--punya genset berbahan bakar solar atau bensin.

Tapi genset tersebut hanya beroperasi pukul 19.00-23.00 WIB untuk mengirit bahan bakar. Di kampung tersebut harga bensin atau solar Rp7.000 per liter, sedangkan minyak tanah Rp12 ribu per liter.

"Di sini hanya lima orang kaya," tutur Yeti, ibu rumah tangga. Ukuran orang kaya ialah memiliki televisi walaupun modelnya masih yang lama dengan ukuran 14 inci.

Potret buram lainnya, sekolah hanya satu yakni Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahussolah, setingkat SD. Bangunan sekolah hasil swadaya masyarakat. Kondisinya sangat tidak layak. Bangunan menyerupai gubuk dari bilik bambu yang ditopang beberapa tiang kayu. Cahaya menerobos dari genting-genting lapuk yang sudah bergeser.

Di dalam ruangan berukuran 6 x 2,5 meter itu terdapat sembilan pasang meja/kursi belajar yang juga sudah usang dan rusak. Karena buatan warga, bentuk mebel tersebut berbeda dengan yang terdapat di sekolah umumnya. Akibat daun pintu terbuka terus, ternak seperti kambing, bebek, dan ayam biasa masuk ke kelas saat siswa belajar.

Menurut Mista, salah seorang pengajar, saat ini ada 72 siswa yang belajar di MI Miftahussolah. Tahun ini sekolah tidak menerima siswa baru. Dua tahun terakhir proses belajar-mengajar terus berlangsung.

Sebelumnya, sekolah sering ditutup. "Kadang satu tahun tutup, atau bertahun-tahun dihentikan," lanjutnya. Sekolah tutup karena tidak ada dana. Guru-guru pun tak betah mengingat akses menuju lokasi dari tempat lain sangat sulit dan gaji mereka juga tak jelas.

Keterbatasan guru membuat siswa belajar bergantian. Kelas 2 dan 3 belajar bersama di ruangan tanpa sekat pada pagi hari. Adapun kelas 4, 5, dan 6 mulai belajar pukul 10.00 WIB setelah kelas 2 dan 3 pulang.

Lulus MI Miftahussolah seolah-olah sudah sarjana. Mereka merasa pendidikan selesai karena sudah bisa baca tulis. Sikap demikian sudah turun-temurun karena beratnya kemiskinan.

Hanya satu dua orangtua yang terus mendorong anaknya supaya melanjutkan ke tingkat madrasah tsanawiyah (MTs/SMP). "Saya ingin Harun pintar dan maju. Makanya dengan susah payah saya biarkan anak saya itu melanjutkan ke MTs di desa lain," ujar Amin, salah satu orangtua, yang sangat berharap ada akses dan penerangan listrik ke kampungnya. (J-1)

Sumber : Media Indonesia 

0 komentar:

Posting Komentar